TAJDID.ID~Medan || Berita pembegalan terus mengisi ruang publik di tengah hiruk pikuk masalah ekonomi, hukum, dan politik di negeri ini.
Founder Ethics of Care, Farid Wajdi mengatakan, kehadirannya yang bertubi-tubi nyaris tanpa jeda belakangan ini menjadi tamparan keras buat negara yang masih sering absen dalam menjamin keamanan dan keselamatan warganya.
“Karena minimnya kehadiran negara, begal dengan serangkaian terornya begitu mudah mengobrak-abrik rasa aman masyarakat,” ujar Farid Wajdi, Kamis (15/6).
Farid menyebutkan, hak rakyat untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan dari negara pun kandas di tangan para jagal jalanan itu. Korban terus berjatuhan seiring dengan kian tingginya derajat keresahan masyarakat. Dalam kasus begal motor, polisi sebagai wakil negara hampir seperti mati langkah.
“Seolah ketinggalan ditikungan. Entah mengapa, tangan polisi pun seperti tak pernah benar-benar mampu menjangkau kelompok begal yang tersebar,” kata Farid.
Paling baru dan sangat menyedihkan terkait kejahatan jalanan juga ialah kasus pembegalan dengan korban mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Medan (14/6).
Baca juga: Mahasiswa UMSU Tewas Dibegal di Medan
Sebelumnya pembunuhan oleh Geng Motor terhadap seorang kepala keluarga yang membonceng anak istrinya di Medan Labuhan dan banyak kasus lainnya yang sudah dipublikasi media.
“Pastinya korban begal sudah banyak berjatuhan. Meski, tidak spesifik begal, namun ini merupakan kejahatan jalanan yang menakutkan dan memilukan,” tegas Farid.
Memang di dalam peristiwa pembegalan, umumnya, masyarakat sebagai sasaran (korban) tidak berdaya karena para pelaku begal menggunakan senjata tajam dan tak segan nekat membunuh korban dengan sadis. Pelaku juga biasanya adalah sekelompok orang dengan sebutan geng motor, dan lain sebagainya.
Menurut Farid, meningkatnya kasus kriminalitas dipercaya oleh banyak pakar disebabkan banyak faktor. Faktor itu antara lain; faktor sulitnya ekonomi. Ada juga yang berpendapat faktor narkoba.
“Orang yang sudah candu atau ketagihan narkoba harus menyediakan uang untuk membeli barang haram tersebut hingga akhirnya melakukan pembegalan,” ungkap Farid.
Pendapat lain, lanjut Farid, adalah faktor lemahnya hukum ataupun keluarga yang rusak (broken home) maupun pendidikan yang belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Terbukti dari usia sebagian pelaku pembegalan adalah usia anak sekolahan/di bawah umur (kurang lebih 15 tahun).
Beragam faktor itulah yang dianggap menjadi alasan kuat maraknya aksi kriminalitas jalanan ini.
Apapun itu, kata Farid, kampanye pemberantasan begal wajib terus dilaksanakan oleh semua pihak. Tidak hanya tugas kepolisian dan pemerintah. Tidak hanya menerapkan hukuman tapi juga melakukan usaha preventif (pencegahan).
Menyelesaikan masalah begal dengan cara main hakim sendiri jelas tak dapat dibenarkan dari sisi hukum dan keadilan. Namun, menurut Farid itu berpotensi bakal terjadi bila polisi dan pemerintah selalu lemah atau terlambat melakukan pengamanan.
“Polisi jelas harus meningkatkan kinerjanya untuk memenuhi rasa aman publik. Tindakan terukur, tegas, massif dan rutin adalah kunci lain dalam mencegah korban begal berikutnya. Itu, memang tidak mudah,” tukasnya.
“Apalagi dari sisi jumlah, personil Kepolisian RI masih jauh dari ideal. Belum lagi soal peningkatan profesionalisme Polri yang masih kerap ‘diganggu’ faktor politik. Namun, bila pemerintah punya komitmen kuat untuk melindungi warganya, masalah itu mestinya dapat diatasi. Di sisi lain, dalam menjaga keamanan lingkungan, masyarakat pun tetap harus pegang peran,” tambah Farid.
Bila publik memandang kejahatan begal sudah menjadi penyakit yang mesti diberangus, Farid mengatakan sudah semestinya pula mereka memasang level kewaspadaan tinggi. Menurutnya, itu jauh lebih efektif dan beradab ketimbang menunggu begal beraksi dan kemudian menghukumnya sendiri.
Harus diingat pula, lanjut Farid, begal bukan sekadar masalah kriminal. Para pelaku begal yang rata-rata berusia muda itu tumbuh menjadi liar karena faktor lingkungan dan masalah sosial. Begal, harus diakui, ialah kriminalitas yang berbalut masalah sosial-ekonomi. Karena itu, solusi komprehensif yang menjangkau ranah sosial-ekonomi juga mesti menjadi bagian dari strategi.
“Masalah kemiskinan dan pengangguran yang selama ini terus menjadi momok harus dibereskan segera karena dari situlah benih-benih begal mulai tersemai. Semua langkah itu mesti dijalankan integral agar kewibawaan negara tidak dirampas begal jalanan,” pungkas Farid Wajdi. (*)