TAJDID.ID~Medan || Banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir 2025 dinilai bukan semata bencana alam, melainkan tragedi sistemik akibat kegagalan tata kelola negara dan lemahnya pengambilan keputusan. Penilaian tersebut disampaikan Farid Wajdi, Founder Ethics of Care.
Menurut Farid, data dampak banjir menunjukkan skala kedaruratan yang seharusnya mendorong pemerintah menetapkan status bencana nasional. Sedikitnya lebih dari 25.000 rumah terendam, 315 korban jiwa tercatat, ribuan anak terpaksa berhenti sekolah, serta kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp7,8 triliun.
“Indikator bencana nasional sesungguhnya sudah terpenuhi. Sungai meluap, akses jalan terputus, fasilitas publik lumpuh, dan kapasitas daerah jelas terlampaui. Namun negara justru sibuk mengelola narasi, bukan mengelola krisis,” ujar Farid kepada TAJDID.ID, Kamis (18/12/2025).
Farid menegaskan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mewajibkan negara mengambil alih koordinasi lintas sektor ketika bencana melampaui kemampuan daerah. Namun hingga kini, status bencana nasional tak kunjung diumumkan, sementara koordinasi antarkementerian dinilai berjalan lamban.
“Koordinasi berhenti di meja rapat. Di lapangan, warga berjuang sendiri di genangan air, dapur umum terlambat, logistik tersendat, dan relawan kewalahan,” kata Anggota Komisi Yudisial periode 2015–2020 ini.
Ia juga mengkritik fenomena yang ia sebut sebagai “wisata bencana”, ketika pejabat lebih menonjolkan aktivitas kunjungan simbolik dan dokumentasi visual ketimbang memastikan distribusi bantuan berjalan cepat dan tepat sasaran.
“Rakyat diposisikan sebagai objek citra. Foto-foto empati beredar luas, tetapi air bersih, makanan, dan obat-obatan datang terlambat atau bahkan salah sasaran,” ujar Farid.
Lebih jauh, Farid menilai banjir tahunan yang terus berulang mencerminkan kegagalan negara dalam mitigasi jangka panjang. Padahal, teknologi prediksi cuaca, data curah hujan, dan pemetaan risiko sudah tersedia.
“Masalahnya bukan pada ketiadaan teknologi, tetapi pada minimnya kemauan politik. Alih fungsi lahan, hutan gundul, tanggul lemah, drainase buruk, dan sistem peringatan dini yang terlambat terus dibiarkan,” tegasnya.
Ia menyebut situasi ini sebagai tragedi moral dan politik, di mana hukum, protokol, dan undang-undang tersedia, tetapi tidak dijalankan secara serius.
“Negara seolah menunggu rakyat terendam untuk membuktikan kewenangan birokrasi. Retorika kesiapsiagaan dijadikan legitimasi, bukan instrumen penyelamatan,” kata Farid.
Farid menutup dengan menegaskan bahwa tanpa keberanian mengambil keputusan cepat, koordinasi nyata, dan eksekusi lapangan yang tegas, pertanyaan tentang tanggung jawab negara akan terus berulang.
“Retorika tidak menyelamatkan nyawa. Rakyat tetap basah kuyup, sementara negara sibuk menyiapkan pidato. Yang ditunggu publik bukan narasi, tetapi kehadiran negara yang bekerja,” pungkasnya. (*)








