Klaim kecukupan anggaran negara justru membuka persoalan serius mengenai ketimpangan prioritas dan keadilan anggaran.
TAJDID.ID~Medan || Ketua Forum Masyarakat Sipil Sumatera Utara (FORMASSU), Ariffani, S.H., M.H., menyampaikan pernyataan sikap keras atas pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mengklaim pemerintah “punya uang” berkat efisiensi anggaran, namun tidak tercermin dalam kebijakan penanganan bencana di berbagai daerah.
Menurut Arif, klaim kecukupan anggaran negara justru membuka persoalan serius mengenai ketimpangan prioritas dan keadilan anggaran.
“Ketika Presiden menyatakan negara punya uang, publik berhak bertanya: uang itu dipakai untuk siapa? Faktanya, korban bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat hanya ‘diberi’ Rp4 miliar per kabupaten/kota. Angka ini bahkan tidak cukup untuk membangun satu infrastruktur darurat, apalagi memulihkan kehidupan ribuan warga,” tegas Ariffani, Kamis (18/12).
FORMASSU menilai alokasi anggaran tersebut tidak mencerminkan kehadiran negara dalam situasi krisis kemanusiaan.
Efisiensi yang Tidak Berperikemanusiaan
FORMASSU mengkritik narasi efisiensi anggaran yang tidak berbanding lurus dengan penguatan anggaran kebencanaan. Jika efisiensi benar-benar berhasil menutup kebocoran, seharusnya sektor kebencanaan menjadi prioritas utama.
“Efisiensi anggaran seharusnya bermuara pada penyelamatan nyawa manusia. Jika daerah bencana tetap dibiarkan bertahan dengan dana minim, sementara negara mengklaim fiskalnya kuat, maka itu bukan efisiensi, melainkan penghematan yang tidak berperikemanusiaan,” ujar Ariffani.
Ia juga menegaskan bahwa pengalihan beban penanganan bencana kepada APBD daerah dan solidaritas masyarakat adalah bentuk lepas tangan negara terhadap tanggung jawab konstitusionalnya.
Ketimpangan Prioritas Negara
FORMASSU menyoroti kontras mencolok antara kecilnya anggaran kebencanaan dan melonjaknya anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang direncanakan mencapai Rp335 triliun pada tahun 2026.
“Kami tidak menolak makan bergizi. Tetapi bencana adalah krisis nyata hari ini, bukan agenda jangka panjang. Ketika ratusan triliun dengan mudah disiapkan untuk program populis, sementara korban bencana hanya mendapat anggaran simbolik, maka ini soal keberpihakan, bukan soal kemampuan negara,” kata Ariffani.
Menurutnya, kondisi ini menimbulkan kesan bahwa kebijakan anggaran negara lebih diarahkan untuk kepentingan elektoral dan pencitraan politik, bukan untuk perlindungan warga dalam situasi darurat.
FORMASSU menilai kehadiran negara dalam penanganan bencana saat ini lebih bersifat administratif daripada substantif.
“Rp4 miliar per daerah bukan wujud kehadiran negara yang sesungguhnya. Itu sekadar angka formal agar negara bisa mengatakan ‘sudah membantu’, padahal korban masih hidup di pengungsian, menunggu kepastian, dan membangun kembali hidupnya dengan dana sendiri,” tegas Arif yang juga Ketua DPC Peradi Langkat ini.
Ia menegaskan bahwa situasi tersebut merupakan bentuk pemindahan beban penderitaan dari negara kepada rakyat.
FORMASSU menyatakan bahwa keadilan sosial tidak diukur dari besarnya anggaran program nasional yang mudah dipromosikan, melainkan dari keberanian negara melindungi warga paling rentan saat krisis terjadi.
“Ketika negara lebih berani menganggarkan ratusan triliun untuk program yang belum matang, tetapi ragu menaikkan anggaran kebencanaan secara signifikan, maka publik wajar menyimpulkan bahwa keadilan anggaran telah dikorbankan demi kepentingan politik,” ujar Ariffani.
Sebagai penutup, FORMASSU menyampaikan tuntutan tegas kepada pemerintah pusat:
1. Menaikkan anggaran kebencanaan secara signifikan dan proporsional dengan skala kerusakan dan jumlah korban.
2. Menghentikan pendekatan simbolik dalam bantuan bencana yang tidak menyelesaikan persoalan di lapangan.
3. Menempatkan keselamatan rakyat sebagai prioritas utama, di atas agenda politik dan program populis.
“Jika negara benar-benar punya uang, maka korban bencana harus menjadi prioritas pertama, bukan terakhir. Jika tidak, maka pernyataan ‘kami punya uang’ akan dikenang sebagai ironi negara yang kaya, tetapi pelit kepada rakyatnya yang sedang menderita,” pungkas praktisi Hukum dan Pengiat Hak Anak ini. (*)








