TAJDID.ID~Medan || Ambisi pertumbuhan ekonomi Indonesia delapan persen pada 2026 kembali mengemuka di tengah rentetan kejadian ekonomi yang saling bertubrukan. Forum Expert’s Talk FEB UMSU menghadirkan dua ekonom nasional, Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Rektor Perbanas Institute Jakarta dan Guru Besar IPB University, serta Dr. Radiman, S.E., M.Si Dekan FEB UMSU, untuk mengurai peluang dan batasan proyeksi itu.
Diskusi yang dipandu Dr. M. Andi Prayogi, S.E., M.Si berlangsung dalam atmosfer kritis, menimbang antara optimisme politik dan kalkulasi ekonomi yang lebih rasional.
Dalam paparannya, Prof. Hermanto menekankan bahwa lanskap global economic outlook 2026 masih berada pada fase moderate growth dengan pertumbuhan dunia hanya berkisar 2,5 sampai 3,2 persen.
Kondisi ini, ditambah external shocks berupa perang tarif, ketidakpastian kebijakan The Fed, serta perlambatan Tiongkok, membuat ruang akselerasi Indonesia sangat terbatas. Ia mengutip proyeksi Bank Indonesia, IMF, ADB, dan World Bank yang seragam menempatkan pertumbuhan Indonesia pada kisaran 4,9 sampai 5,4 persen, jauh dari angka delapan persen. “Kita tidak melihat tanda adanya easing cycle atau lonjakan investasi berbasis AI yang cukup besar untuk mendorong pertumbuhan hingga dua kali lipat dari tren normal,” kata Hermanto.
Ia juga menyinggung dinamika kebijakan domestik. Program Makan Bergizi Gratis memang akan menambah konsumsi, namun pemangkasan transfer ke daerah sebesar Rp227 triliun dalam APBN 2026 dan reposisi berbagai anggaran ke pusat menimbulkan tensi dalam fiscal expansion.
Menurutnya, pemerintah harus berhati-hati agar ekspansi fiskal tidak menimbulkan tekanan pada defisit atau memperlebar current account deficit.
Di saat yang sama, Bank Indonesia diperkirakan melanjutkan monetary easing sejalan dengan Fed cuts, menurunkan suku bunga ke kisaran 4,5 persen, memperkuat transmisi kredit, dan menjaga exchange rate stability.
Namun semua itu, katanya, tetap berada di dalam orbit pertumbuhan moderat.
Hilirisasi tetap menjadi pilar utama value added. Prof. Hermanto menyoroti bagaimana downstreaming nikel, bauksit, dan CPO menciptakan ruang investasi serta memperkuat manufaktur. Tetapi ketergantungan pada teknologi dan pasar Tiongkok, yang menguasai lebih dari dua pertiga kapasitas pemurnian, menimbulkan risiko jangka panjang. “Hilirisasi memberi bantalan, tetapi tidak cukup untuk membawa pertumbuhan ke delapan persen dalam satu tahun. Butuh ekosistem, diversifikasi, dan sectoral shift yang jauh lebih dalam,” ujarnya.
Dari perspektif daerah, Dr. Radiman, S.E., M.Si melihat Sumatera Utara sebagai miniatur dari kondisi nasional. Banjir besar yang melanda beberapa wilayah Sumatera menjelang akhir 2025 menyebabkan supply disruption pada pertanian, logistik, dan UMKM. Dampaknya tidak permanen tetapi cukup menggerus momentum awal 2026. Ia mencatat bahwa sektor perkebunan, industri pengolahan, dan aktivitas pelabuhan tetap menjadi kekuatan utama Sumut dalam value chain regional.
Namun ia menyebut bahwa tekanan global akibat perang tarif dan penurunan permintaan Tiongkok akan tetap menghantam ekspor komoditas unggulan. “Konsumsi akan bergerak naik dengan MBG, tetapi tidak akan menciptakan growth acceleration menuju delapan persen. Tahun 2026 adalah tahun stabil, bukan tahun lompatan,” katanya.
Radiman juga menyoroti faktor politik ekonomi, termasuk pergantian dua menteri ekonomi yang dinilai menambah policy uncertainty. Meski demikian, ia menilai struktur kebijakan makro Indonesia masih cukup kokoh selama koordinasi fiskal dan moneter tetap berjalan serempak dan BI mempertahankan pendekatan pro-stability pro-growth, termasuk melalui macroprudential incentives untuk mendorong kredit perumahan, pertanian, dan UMKM.
Pada akhirnya kedua ekonom menegaskan bahwa jalan menuju delapan persen bukan perkara satu kebijakan atau satu tahun anggaran. Butuh transformasi produktivitas, terobosan industrialisasi berbasis teknologi, memperluas hilirisasi ke sektor nonkomoditas, dan menarik capital inflow berkualitas tinggi. Pertumbuhan tinggi adalah proses panjang, bukan hasil kebijakan instan.
Forum Expert’s Talk FEB UMSU menutup diskusi dengan satu pesan bersama, ekonomi tidak dibangun dengan slogan tetapi dengan disiplin kebijakan, ketahanan struktural, dan arah pembangunan yang konsisten. (*)








