Oleh: Adrian Yusuf Alfarizi
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Ada satu pernyataan yang sudah begitu melekat di telinga masyarakat muslim Indonesia bahwa al-Qur’an terdiri dari 6666 ayat. Mayoritas orang menyebutnya dengan penuh keyakinan, seoalah-olah angka tersebut datang langsung dari wahyu atau dari ijma’ para ulama. Namun Ketika membuka mushaf cetakan kemenag yang dipakai hampir di seluruh lapisan masyarakat Indonesia, angka yang ditemukan justru 6236 ayat. Karena perbedaan tersebut memunculkan pertanyaan, bagaimana mungkin masyarakat meyakini ada 6666 ayat dalam al-Qur’an, sementara mushaf standar Indonesia memakai 6236 ayat? Apakah terjadi perbedaan isi? Apakah ada versi al-Qur’an yang lain? Atau mungkin jangan-jangan angka 6666 ayat hanyalah mitos yang diwariskan tanpa verifikasi?
Hal pertama yang perlu ditegaskan adalah bahwa al-Qur’an tidak pernah menyebut jumlah ayatnya secara langsung. Dalam sunnah misalnya, Rasulullah SAW juga tidak meninggalkan catatan angka yang pasti mengenai jumlah ayat al-Qur’an. Maka perbedaan ini membuka ruang bagi ulama untuk mengembangkan metode penghitungan ayat berdasarkan tanda waqaf, bentuk bacaan, dan riwayat qira’ah. Lalu darimana angka 6666 berasal?
Beberapa penelitian klasik maupun modern memberikan gambaran, bahwa sebagian ulama membagi ayat-ayat al-Qur’an kedalam beberapa kategori seperti ayat hukum, kisah, janji, ancaman, do’a, dan lain-lain. Yang dimana jika dijumlahkan seluruh kategori tersebut secara longgar terkadang menghassilkan angka 6666. Namun perlu diingat bahwa pembagian ini bersifat subjektif dan tidak pernah menjadi standar penghitungan ayat yang formal.
Selanjutnya, di masa Ketika akses literasi massih terbatas, penceramah sering menyebut angka yang mudah diingat. Frasa “6666 ayat” terdengar rapi dan kuat secara retorik, sehingga mudah diwariskan dari generasi ke generasi. Sedangkan, Ketika satu informasi sering diucapkan tanpa tantangan kritis, masyarakat cenderung menganggapnya sebagai kebenaran.
Di Indonesia, qira’ah yang digunakan yaitu qira’ah Hafs ‘an ‘Ashim dengan riwayat Ahl Kufah. para ulama Kufah menetapkan bahwa jumlah seluruh ayat dalam al-Qur’an Adalah 6236 ayat. Yang bertumpu pada beberapa metode, diantaranya Penentuan waqaf yang dianggap paling kuat dalam tradisi qira’ah Irak, Penetapan apakah basmalah dihitung sebagai ayat atau tidak, dan Pemisahan atau penyatuan ayat tertentu berdasarkan riwayat bacaan.
Menariknya, Ahl Kufah bukan satu-satunya mazhab yang menentukan berapa jumlah seluruh ayat dalam al-Qur’an. Para ulama qira’ah memiliki perbedaan pendapat mengenai cara menghitung jumlah ayat dalam al-Qur’an. Terdapat tujuh mazhab yang paling dikenal terkait perbedaan ini.
Pertama, mazhab al-Madani al-Awwal yang diriwayatkan oleh Nafi’ dari gurunya Abu Ja’far (Yazid bin al-Qa’qa’ dan Syaibah bin Nashah). Riwayat inilah yang dibawa oleh ulama Kufah dari ulama Madinah tanpa menyebut nama perawinya secara spesifik. Karena itu, apabila ulama Kufah menyampaikan jumlah ayat al-Qur’an tanpa mencantumkan nama perawi tertentu dari Madinah, maka riwayat itu dianggap sebagai mazhab Al-Madanî al-Awwal, yakni riwayat yang berasal dari jalur Nâfi.
Namun, ulama Kufah dan ulama Bashrah berbeda pandangan mengenai bentuk periwayatan mereka dari Madinah: ulama Kufah meriwayatkannya tanpa mencantumkan nama, sedangkan ulama Bashrah menisbatkannya kepada Warsy dari Nâfi` dari gurunya. Dalam riwayat ulama Kufah jumlah ayat al-Qur’an mencapai 6217 ayat, sementara menurut riwayat Warsy yang dianut ulama Bashrah jumlahnya adalah 6214 ayat. Imam al-Syathibî memilih pendapat ulama Kufah, dan keputusan ini kemudian diikuti oleh Imam al-Dânî.
Kedua, mazhab Al-Madanî al-Akhîr, yang diriwayatkan oleh Isma’îl bin Ja’far dari Sulaimân bin Jimâz melalui Yazîd dan Syaibah. Mazhab ini menetapkan jumlah ayat sebanyak 6214.
Ketiga, mazhab Ahl Makkah, yang disebutkan oleh Imam al-Dânî dan bersandar pada riwayat Abdullah bin Katsîr dari Mujâhid, dari Ibn Abbas, dari Ubay bin Kaab, dari Rasulullah saw.; jumlah ayat menurut mereka adalah 6210.
Keempat, mazhab Ahl Bashrah, diriwayatkan melalui Athâ’ bin Yasâr dan Âshim al-Jahdirî, lalu disandarkan kepada Ayyub bin al-Mutawakkil. Mereka menghitung jumlah ayat sebanyak 6204.
Kelima, mazhab Ahl Damaskus, berdasarkan riwayat Yahyâ al-Dzimârî dari Abdullah bin `Âmir al-Yahshibî dari Abu Dardâ’, dengan penisbatan jumlah ayat ini kepada Utsman bin Affan. Menurut mazhab ini jumlah ayat adalah 6227, dan ada pula riwayat lain yang menyebut 6226.
Keenam, mazhab al-Humushî, dinisbatkan kepada Syuraih bin Yazîd al-Humushî al-Hadhramî, dengan jumlah ayat 6232. Ketujuh, mazhab Ahl Kufah, yang diriwayatkan oleh Hamzah dan Sufyân dari Ali bin Abi Thalib melalui para perawi terpercaya. Menurut mereka jumlah ayat al-Qur’an adalah 6236, yang dikenal sebagai jumlah versi al-Kûfî.
Yang perlu digaris bawahi bahwa Perbedaan ini tidak pernah dipahami sebagai perbedaan isi wahyu. Yang berbeda hanyalah penomoran dan cara membagi ayat, bukan teksnya. Setiap mazhab menggunakan riwayat yang jelas dan bersambung, sehingga semuanya tetap berada dalam koridor keilmuan. Karena secara ilmiah, ada beberapa poin penting, diantaranya teks al-Qur’an itu bersifat mutawatir yang berarti perbadaan itu hanya terletak pada tanda ayat bukan pada isi, perbedaan ini sudah dikenal dan disepakati sejak generasi sahabat dan tabi’in, dan metode penomoran ayat tidak memengaruhi hukum fiqh, tafsir, maupun qira’ah. Sebab ayat tetap dipahami dalam konteksnya, terlepas dari angka yang berada pada samping mushaf.
Dengan demikian, Perdebatan mengenai jumlah ayat sebetulnya bukan masalah substansi wahyu, melainkan masalah Sejarah perkembangan dan metode penghitungan terhadap ayat al-Qur’an secara utuh. Yang lebih penting dari angka tersebut adalah pemahaman terhadap struktur Al-Qur’an itu sendiri, kemudian konteks turunnya ayat, fungsi tafsir, serta kompetensi dalam membaca tradisi qira’ah. (*)








