Oleh: M. Risfan Sihaloho
Deforestasi. Sepintas, istilah ilmiah ini terdengar seperti sebuah diksi bagian dari judul disertasi. Padahal, ternyata maknanya sesederhana “hutan hilang, diganti entah apa.”.
Ya. Begitu mudah: ribuan hektar ragam pohon ditebas, dibakar, diratakan, lalu diganti dengan barisan kelapa sawit yang rapi seperti prajurit, atau lokasi pertambangan yang katanya bakal “membawa kesejahteraan” bagi rakyat sekitar.
Hebatnya, semua ini terjadi dengan cap legalitas yang manis: izin konsesi, proyek strategis, pembangunan nasional. Karena ketika yang merusak hutan adalah korporasi besar dengan restu kekuasaan, itu bukan kriminal. “itu investasi,” kata mereka.
Pemerintah pun tak ketinggalan, mereka menyediakan narasi nasionalisme baru. Kata mereka: “Kita membuka hutan demi pembangunan dan kemajuan bangsa.” Padahal “bangsa” yang dimaksud kemungkinan “bangsat”, hanya segelintir oligarki yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari satu tangan. Mereka mengumpulkan kekayaan seperti sedang menuntaskan level game, sementara masyarakat di sekitar hutan sibuk menyelamatkan sisa hidup yang terus tergerus.
Sungguh luar biasa: kita menebang paru-paru dunia sambil mengeluarkan dokumen strategis bertajuk “Pengurangan Emisi Karbon”. Kita mengoyak hutan demi ekspor komoditas, sambil berpidato lantang tentang urgensi sustainability.
Deforestasi berubah menjadi seni retorika, dimana lubang-lubang tambang dipoles sebagai lapangan kerja, padahal yang tersisa hanya genangan beracun dan janji yang menguap.
Dan tentu saja, setelah hutan lenyap, bencana datang tepat waktu seperti pelanggan setia. Banjir bandang? Itu bukan bencana, itu “air yang rindu dataran.” Longsor? Kecelakaan alam biasa, seolah alam jatuh terpeleset sendiri. Udara sesak dan kebakaran hutan? Ya, salah rakyat karena bakar lahan untuk bertani. Begitulah kata mereka yang punya ribuan hektar konsesi tebangan.
Sementara satwa liar kehilangan rumah, kita dengan bangga memamerkan maskot hewan terancam punah di acara kampanye lingkungan, disponsori oleh perusahaan yang kebetulan juga perambah hutan. Di satu sisi menggunduli, di sisi lain menanam 100 bibit pohon untuk Instagram. Begitulah keadilan ekologis versi era modern yang terus mereka kampanyekan.
Pada akhirnya, deforestasi bukan sekadar hilangnya pohon. Ini adalah kisah tentang bagaimana kekuasaan, modal, dan ambisi pribadi dan kelompok berdansa di atas tubuh bumi. Hutan yang dahulu menjadi penjaga iklim, gudang air, ibu dari keanekaragaman hayati — kini dipandang sebagai lahan kosong yang “belum dimanfaatkan.”
Begitulah cerita “kemajuan”: sering kali para pemangku kebijakan mengukur pembangunan dengan luas hutan yang berhasil dibabat dan diratakan. Dan ketika semua bencana akhirnya datang berurutan, mereka pura-pura terkejut.
Dan seperti biasa, mereka segera menggelar rapat darurat dan konferensi pers sebagai ritual penyucian. Harapannya agar publik percaya mereka begitu peduli. Pada hal merekalah sebenarnya biang kerok malapetaka yang terjadi. (*)








