TAJDID.ID~Medan || Pemerintah pusat dinilai terlalu lama mengambil keputusan untuk menetapkan status bencana nasional, meski jumlah korban terus bertambah dan kerusakan semakin meluas. Kritik tajam disampaikan oleh Founder Ethics of Care sekaligus mantan Anggota Komisi Yudisial 2015–2020, Farid Wajdi, yang menilai lambannya respons negara sebagai bentuk kegagalan moral.
Menurut Ketua Majelis Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Sumut ini, setiap jam keterlambatan menunjukkan lemahnya sensitivitas moral dan keberanian politik pemerintah dalam merespons tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung. “Ketika ribuan nyawa dipertaruhkan, keputusan negara seharusnya muncul sebagai refleks pertama, bukan setelah perdebatan panjang di meja birokrasi,” ujarnya di Medan, Senin (1/12).
Farid menilai narasi resmi pemerintah pusat yang menyebut penanganan masih dapat dilakukan oleh pemerintah daerah bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Ia menyebut kapasitas daerah sudah kolap, dimana akses listrik terputus, bantuan logistik terhambat, ribuan rumah hilang, dan pengungsian berlangsung tanpa standar kemanusiaan.
“Kalau kondisi seperti itu masih disebut dapat ditangani, publik berhak bertanya apa sebenarnya definisi kolaps menurut pemerintah,” tegasnya.
Diduga Ada Pertimbangan Politik dan Ekonomi
Farid menyebut keengganan pemerintah menetapkan status bencana nasional bukan semata persoalan teknis prosedural. Ia menduga terdapat faktor politik dan ekonomi yang mempengaruhi lambannya keputusan.
“Status bencana nasional membuka keran intervensi negara secara besar-besaran, mulai dari pendanaan lintas kementerian, pengerahan aparat, bahkan kemungkinan bantuan internasional. Konsekuensinya signifikan bagi pemerintah, termasuk pengakuan bahwa mitigasi lingkungan dan tata kelola ruang selama ini tidak berjalan,” jelasnya.
Menurut Farid, sebagian elite mungkin menganggap pengakuan tersebut memalukan atau bahkan berpotensi menyeret tanggung jawab institusional. “Di sinilah publik melihat ada kalkulasi politik: menjaga narasi stabilitas lebih penting daripada menyelamatkan warga yang terjebak bencana,” katanya.
Dampak Sosial Semakin Parah
Farid menegaskan bahwa bencana tidak bisa dihadapi dengan strategi komunikasi politik. Setiap jam keterlambatan, menurutnya, berpengaruh langsung pada jumlah korban dan kedalaman trauma sosial masyarakat.
“Mereka bertahan hidup di lantai masjid, merobek pintu minimarket karena kelaparan, dan menaruh jenazah di sudut bangunan yang masih utuh karena tidak ada tempat lain. Ini bukan sekadar kriminalitas atau kekacauan, ini alarm bahwa negara terlambat hadir,” ujarnya.
Farid juga menyoroti munculnya rasa ketidakadilan di tengah masyarakat karena membandingkan kecepatan pemerintah menangani bencana di wilayah lain. “Warga merasa seperti ditempatkan sebagai kelas dua,” ucapnya.
Negara Melihat, Negara Tahu, Tetapi Tidak Bergerak
Farid mengingatkan bahwa penetapan status bencana nasional bukan simbol politis ataupun hadiah untuk daerah, tetapi mandat konstitusional untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia.
“Jika negara terus ragu, publik akan mengingat momen ini sebagai salah satu kegagalan moral paling telanjang. Bencana sudah sangat masif. Berhitung terlalu lama sama saja dengan menegaskan hal yang lebih pahit: negara melihat, negara tahu, tetapi negara memilih tidak bergerak secepat yang seharusnya,” tutupnya. (*)








