TAJDID.ID~Medan || Kota Medan kembali dilanda banjir setelah hujan deras mengguyur wilayah ini sejak Rabu dini hari (27/11). Genangan air setinggi 80 cm hingga 2 meter merendam sejumlah pemukiman warga, terutama di kawasan.
Banjir yang semakin sering terjadi dalam beberapa tahun terakhir memunculkan kembali pertanyaan publik: mengapa kota yang pada masa kolonial dikenal minim banjir, kini justru menjadi langganan genangan?
Jejak Masa Lalu: Medan yang Tidak Mengenal Banjir
Dalam rekam sejarah urban kawasan Sumatera Timur pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Medan dikenal sebagai kota yang dibangun dengan perencanaan tata air yang ketat. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan sistem kanalisasi lurus, drainase rutin, dan zona resapan yang dilindungi.
Medan pernah dijuluki sebagai “dry city” atau kota kering, bukan karena cuacanya panas, tetapi karena persoalan banjir nyaris tidak pernah terjadi.
Ironisnya, pada masa teknologi masih sederhana, tata kota berjalan dengan baik. Sementara hari ini, ketika infrastruktur modern berkembang, persoalan banjir justru semakin kompleks.
Bukan Sekadar Fenomena Alam, Tapi Dampak Pilihan Manusia
Menurut Akademisi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Irfan Dahnial, banjir yang terjadi bukan semata karena curah hujan tinggi, tetapi merupakan konsekuensi dari arah pembangunan yang keliru.
“Banjir ini bukan hanya persoalan alam. Ini hasil akumulasi pilihan manusia yang mengabaikan prinsip ekologis,” ujar Irfan.
Ia menilai hilangnya ruang terbuka hijau, penyempitan sungai, pembangunan tanpa analisis lingkungan yang memadai, serta perubahan fungsi lahan menjadi penyebab utama.
“Dulu kanal, sungai, dan lahan resapan dijaga. Sekarang beton menggantikan pepohonan, sungai berubah menjadi tempat pembuangan sampah. Akhirnya hujan sebentar pun air naik,” kata Irfan.
Ini Bukan Banjir, Ini Peringatan
Irfan menyebut banjir Medan sebagai cermin kegagalan modernitas.
“Kota yang mengaku maju ternyata tumbuh tanpa kebijaksanaan ekologis. Banjir ini seperti protes alam terhadap cara kita memperlakukan lingkungan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti persoalan tata izin pembangunan.
“Dulu kota dibangun dengan perencanaan. Sekarang kota dibangun dengan izin. Bahkan seringkali izin muncul lebih cepat daripada banjir datang,” tambahnya.
Persoalan Teknis Sekaligus Moral Publik
Irfan menegaskan bahwa persoalan banjir Medan bukan sekadar persoalan infrastruktur, tetapi persoalan kesadaran dan moral kolektif dalam memperlakukan ruang kota.
“Yang dulu tidak terjadi pada masa kolonial justru terjadi saat kita berdaulat. Ini menjadi ironi pembangunan,” tegasnya.
Ajakan untuk Refleksi & Berbenah
Irfan mengajak pemerintah, pelaku pembangunan, dan masyarakat untuk menjadikan peristiwa banjir ini sebagai momentum evaluasi.
“Sebuah kota hanya bisa berkembang jika alam dijadikan mitra, bukan musuh. Dan masyarakat tidak boleh terus menjadi korban,” tutupnya. (*)







