TAJDID.ID~Medan || Penetapan sejumlah Kepala Dinas di Pemerintahan Kota Medan dan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara sebagai tersangka korupsi kembali menyoroti lemahnya tata kelola pemerintahan daerah. Sejumlah pejabat yang seharusnya menjadi motor pelayanan publik justru tersandung kasus hukum yang menguak rapuhnya sistem seleksi dan pembinaan pejabat.
Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai rangkaian kasus tersebut bukan sekadar persoalan individu, tetapi bukti kegagalan struktural yang sudah berlangsung lama. “Ini bukan hanya soal oknum. Ini adalah potret telanjang bahwa mekanisme seleksi pejabat kita permisif, dangkal, bahkan oportunistik,” tegasnya.
Kasus Dishub Medan: Jejak Lama yang Terabaikan
Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah dugaan korupsi proyek Medan Fashion Festival (MFF) 2024 yang menjerat Kepala Dinas Perhubungan Kota Medan, Erwin Saleh. Proyek senilai sekitar Rp4,85 miliar itu diduga merugikan negara lebih dari Rp1,1 miliar akibat penyimpangan prosedur pengadaan hingga pembayaran yang tidak sesuai ketentuan.
Padahal, saat proyek berlangsung, Erwin menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Bagi Farid, fakta ini menunjukkan bahwa masalah integritas sudah tampak sejak awal.
“Jika audit rekam jejak dilakukan dengan serius, seharusnya promosi ke jabatan kepala dinas tidak terjadi. Kelemahan seleksi membuat figur bermasalah justru lolos,” ujarnya.
Dinas Pendidikan Sumut: Promosi yang Mengundang Tanya
Kasus serupa terjadi pada Kepala Dinas Pendidikan Sumut, Alexander Sinulingga, yang diperiksa terkait dugaan penyimpangan proyek pembangunan rumah susun dengan potensi kerugian sekitar Rp797 juta. Selain persoalan hukum, pengangkatannya ke sektor pendidikan juga dinilai tak sesuai latar belakang profesionalnya.
Farid menilai penempatan pejabat seperti ini memperlihatkan dominasi pertimbangan politis ketimbang profesionalitas. “Ini konsekuensi budaya patronase. Jabatan sering diperlakukan sebagai hadiah politik, bukan amanah pelayanan publik,” katanya.
Seleksi Seremonial, Pengawasan Lemah
Menurut Farid, persoalan utama terletak pada proses seleksi yang hanya bersifat administratif dan minim pendalaman integritas. Seharusnya, kata dia, seleksi pejabat melibatkan audit kinerja, penelusuran proyek terdahulu, dan verifikasi etika secara independen.
“Kita terlalu sering melihat wawancara formalitas, rekomendasi politis, dan absennya telaah mendalam. Padahal dari situlah risiko korupsi mulai tumbuh,” tambahnya.
Ia juga menyoroti lemahnya peran inspektorat yang kerap bergerak reaktif setelah kerugian terjadi. “Pengawasan internal tidak punya kuasa strategis. Audit datang ketika publik sudah terluka dan kerugian tak bisa dipulihkan,” ujarnya.
Dampak Langsung ke Publik
Farid mengingatkan bahwa korupsi kepala dinas bukan hanya persoalan hukum, tetapi langsung memengaruhi kualitas layanan dasar seperti transportasi, pendidikan, dan perumahan.
“Ketika uang publik bocor, masyarakat yang membayar harga. Fasilitas rusak, program mandek, dan kepercayaan publik runtuh,” tegasnya.
Dorongan Reformasi Seleksi Pejabat
Ia menekankan perlunya reformasi menyeluruh, terutama memperketat standar seleksi pejabat melalui uji tuntas berbasis integritas, audit proyek masa lalu, serta transparansi alasan pengangkatan.
“Inspektorat harus ditempatkan sebagai garda etik, bukan sekadar unit administratif yang bekerja setelah masalah terjadi,” katanya.
Farid menutup pernyataannya dengan peringatan keras: “Jika seleksi pejabat tetap seremonial dan kompromistis, aktornya mungkin berganti, tapi pola korupsinya tidak. Birokrasi bersih hanya lahir dari proses yang keras, jujur, dan berani menolak patronase.”. (*)








