TAJDID.ID~Medan || Di tengah dinamika kota besar yang kian padat dan kompleks, muncul satu gagasan yang menggugah, menjadikan jalan raya bukan sekadar jalur kendaraan, melainkan cermin peradaban masyarakat. Gagasan ini disuarakan tegas oleh Edi Saputra, ST, Anggota DPRD Kota Medan dari Fraksi PAN, yang melihat etika berlalu lintas sebagai fondasi moral kehidupan perkotaan.
“Jalan raya mempertemukan beragam karakter dan emosi manusia. Di sanalah kesabaran, tenggang rasa, dan disiplin diuji. Ketika aturan diabaikan, yang hilang bukan sekadar ketertiban, tetapi martabat sosial kita sebagai warga kota,” ujar Edi dalam pernyataannya di Medan, Rabu (12/11/2025).
Edi memuji langkah strategis Kapolrestabes Medan Kombes Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, yang tegas menindak pelaku kejahatan jalanan seperti geng motor, begal, dan kriminalitas malam hari. Namun, di balik ketegasan itu, ia melihat pendekatan yang lebih luas, yakni membangun komunikasi dan sinergi antara kepolisian dan masyarakat. “Kapolrestabes tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga membangun dialog dengan warga. Ini pendekatan modern dalam menciptakan keamanan yang berakar dari kepercayaan publik,” tambahnya.
Lebih jauh, Edi juga menyoroti peran Wali Kota Medan, Rico Waas, yang dinilainya mampu mengimbangi pendekatan penegakan hukum dengan langkah edukatif. Menurutnya, Wali Kota secara konsisten menanamkan nilai-nilai disiplin dan kepedulian sosial melalui program literasi dan kegiatan edukatif di sekolah. “Ketika Polri menjaga keamanan dan pemerintah menumbuhkan kesadaran, maka keduanya membentuk dua sisi mata uang dari kota yang berperadaban,” ujar Edi.
Dalam konteks pendidikan moral publik, Edi memberikan apresiasi terhadap karya akademisi Dr. Robie Fanreza melalui bukunya “Etika di Jalan Raya”. Ia menyebut buku tersebut sebagai dakwah intelektual yang relevan dengan situasi sosial masyarakat perkotaan saat ini.
“Buku ini mengajarkan kita bahwa perubahan sosial sejati tidak hanya lahir dari regulasi, tetapi dari hati dan kesadaran kolektif. Pendidikan moral di rumah dan sekolah adalah titik awal membangun masyarakat yang beretika di ruang publik,” tegasnya.
Sebagai politisi muda, Edi menilai tantangan terbesar kota besar seperti Medan bukan hanya menekan angka kriminalitas, tetapi membangun budaya disiplin dan tenggang rasa di jalan. “Kalau warga bisa sabar di jalan, menghargai lampu merah, dan tidak menyerobot hak pengguna lain, itu artinya kita sudah mulai membangun kota yang bermartabat,” ujarnya menutup pernyataan.
Dengan sinergi antara kepolisian, pemerintah daerah, legislatif, dan masyarakat, Medan diyakini dapat melangkah menuju masa depan yang bukan hanya aman secara fisik, tetapi juga beradab secara moral. Sebuah langkah kecil di jalan raya, berhenti di lampu merah, memberi jalan pejalan kaki, mengucap maaf di tengah macet, bisa menjadi awal dari revolusi akhlak di ruang publik. (*)


