TAJDID.ID~Medan || Tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap terdakwa kasus suap proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumatera Utara, H. Kirun, dan anaknya Muhammad Rayhan Dulasmi Piliang, menuai sorotan. Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Medan, Kirun dituntut tiga tahun penjara, sementara Rayhan dituntut dua tahun enam bulan penjara.
Besaran tuntutan itu dinilai tidak sebanding dengan nilai suap yang mencapai sekitar Rp4 miliar dan proyek bernilai ratusan miliar rupiah yang diperebutkan.
Founder Ethics of Care sekaligus Anggota Komisi Yudisial RI periode 2015–2020, Farid Wajdi, menyebut tuntutan tersebut menimbulkan keprihatinan publik.
“Angka sekecil itu sulit disebut hukuman yang setimpal. Korupsi bukan hanya soal kerugian negara, tetapi juga pengkhianatan terhadap mandat publik,” ujar Farid dalam keterangannya, Rabu (06/11).
Baca juga: Kebakaran Rumah Hakim, Ethics of Care: Alarm Serius bagi Perlindungan dan Independensi Peradilan
Menurut Farid, korupsi pada proyek infrastruktur memiliki dampak sistemik, karena setiap rupiah yang diselewengkan berpotensi mengurangi kualitas jalan, jembatan, atau fasilitas publik lainnya.
“Lubang di jalan yang seharusnya mulus adalah lubang dalam keadilan sosial. Koruptor bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merampas hak masyarakat atas layanan publik yang layak,” tegasnya.
Farid menilai, tuntutan ringan dapat memberi sinyal keliru bahwa korupsi masih bisa dinegosiasikan.
“Semangat hukum pidana korupsi adalah deterrence effect. Setiap pelaku harus merasakan konsekuensi berat agar menjadi efek jera,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa alasan pengakuan dan penyesalan tidak bisa menjadi dasar untuk memberikan tuntutan ringan kepada pelaku korupsi.
“Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Tidak bisa diperlakukan seperti pelanggaran etika yang selesai dengan permintaan maaf,” tambahnya.
Farid juga menyoroti peran hakim dalam proses penegakan hukum. Ia mengatakan hakim bukan hanya sekadar corong undang-undang, melainkan penjaga moral publik.
Menurutnya, independensi peradilan patut dihormati, namun publik mengharapkan keberanian hakim untuk memutus lebih tinggi dari tuntutan jaksa jika bukti dan dampak sosial kejahatan terbukti besar. Dalam sejarah pemberantasan korupsi, putusan progresif selalu lahir dari keberanian moral hakim dalam menegakkan nurani hukum, bukan dari tekanan politik.
“Hakim punya kewenangan memutus lebih tinggi dari tuntutan jaksa jika bukti dan dampak sosial kejahatan terbukti besar. Putusan progresif lahir dari keberanian moral hakim,” kata Farid.
Ia berharap majelis hakim dapat menegakkan rasa keadilan publik melalui putusan yang tegas.
“Pengadilan harus berbicara jelas: korupsi bukan kesalahan administrasi, tetapi pengkhianatan terhadap keadilan publik,” tutup Farid. (*)








