Oleh: M. Risfan Sihaloho
Baru-baru ini publik dikejutkan oleh pengakuan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang konon telah memerintahkan jejaring relawannya untuk mendukung paket Prabowo–Gibran dua periode.
Sekilas terdengar seperti berita basi—bukankah baru kemarin kita keluar dari hiruk-pikuk Pilpres 2024?
Tapi inilah wajah demokrasi kita: kalender elektoral selalu dipercepat, seakan kursi kekuasaan adalah tiket konser Boyband K-Pop, harus buru-buru rebutan sebelum kehabisan.
Bila ditilik, manuver ini ternyata bukanlah kejutan. Februari lalu, di ulang tahun ke-17, Partai Gerindra sudah menegaskan dukungan untuk Prabowo sebagai Capres 2029. Pada hal saat itu mesin pemerintahan baru panas, namun sebagian elit sudah sibuk mengatur strategi untuk lima tahun ke depan.
Tak mau ketinggalan, beberapa bulan kemudian giliran PAN ikut-ikutan menyuarakan hal yang sama. Tidak jelas motifnya. Namun banyak pihak yang menilai ini tak jauh dari sebentuk strategi “jilatan politik” untuk mendapat “jatah” kekuasaan.
Bedanya, dua pernyataan awal hanya menyebut nama Prabowo sebagai Calon Presiden, minus Cawapres. Sementara yang terakhir—versi relawan Jokowi—langsung dikemas dalam bentuk paket: Prabowo–Gibran dua periode.
Lantas, urgensinya apa bicara Pilpres 2029 hari ini? Disaat nafas negara terengah-engah karena tercekik utang yang terus menggunung, rakyat masih pusing harga beras dan listrik, tapi sebagian elit justru sudah sibuk mengatur siapa yang duduk di kursi empuk 2029.
Benar kata James Freeman Clarke: “Politisi berpikir tentang pemilu berikutnya, sementara negarawan berpikir tentang generasi berikutnya.”
Sayangnya, di republik ini yang banyak lahir adalah politisi, sedangkan tipe negarawan sangat langka. Ya. Saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi krisis negarawan di tengah muncul gerombolan politisi pragmatis yang hanya berorientasi pada kekuasaan guna memenuhi kepentingan diri mereka.
Fenomena pencapresan dini ini ibarat pesta kawinan yang baru dimulai. Tamu undangan belum selesai makan nasi, eh keluarga pengantin sudah sibuk menentukan siapa yang akan menikah lima tahun lagi. Lucu, sekaligus tragis.
Ironis, rakyat bawah masih berjuang sekadar bertahan hidup: mencari minyak goreng murah, mengurus administrasi ribet di kantor birokrasi, sampai menambal ekonomi keluarga yang bocor di sana-sini. Tapi para elitnya justru sibuk memastikan kenyamanan mereka sendiri di masa depan.
Negeri ini seperti kapal yang baru saja berangkat. Mesin baru saja panas, layar baru terkembang, tapi para penumpang VIP sudah ribut soal siapa yang akan duduk di kursi dek kapal berikutnya.
Pertanyaannya, bagaimana sebaiknya Prabowo merespon?
Kalau ia negarawan sejati, mestinya ia menjawab: “Tahan dulu. Mari bekerja dulu. Rakyat masih butuh bukti, bukan janji.” Tapi kalau ia hanya politisi tulen, tentu ia akan tersenyum menerima, sambil membisikkan pesan manis ke relawan: “Keep it warm.”
Lalu bagaimana dengan rakyat? Seharusnya kita belajar bersikap sinis—jangan gampang hanyut dalam gimmick pencapresan dini. Kalau mereka sibuk urusan 2029, kita justru harus menagih janji hari ini. Kalau mereka sibuk bermimpi lima tahun ke depan, kita harus membangunkan dengan realitas: rakyat lapar, biaya hidup mahal, dan negara belum selesai mengurus persoalan dasarnya.
Jangan sampai kita dijadikan seperti penonton sinetron stripping, dipaksa terus menonton episode politik tanpa jeda, padahal jalan ceritanya basi dan aktornya itu-itu saja.
Karena kalau dibiarkan, bangsa ini akan terus jadi panggung untuk syahwat kekuasaan, bukan ruang untuk cita-cita bersama. (*)