TAJDID.ID~Medan || Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang lahir dari janji politik mulia untuk meningkatkan gizi jutaan anak Indonesia, kini justru menuai sorotan tajam akibat berulangnya kasus keracunan massal di sejumlah daerah.
“Visi memberi gizi seimbang bagi anak bangsa itu sangat mulia. Namun, eksekusi yang buruk justru mencederai tujuan program,” tegas Farid Wajdi, Founder Ethics of Care, kepada wartawan, Senin (23/9).
Menurut Farid, sejak diluncurkan, MBG berulang kali menjadi berita utama karena insiden keracunan, dari Sragen hingga Banggai, dari Bogor hingga Garut. Ratusan siswa harus dirawat di rumah sakit. “Yang seharusnya dicatat sebagai prestasi, kini justru diingat publik karena korban yang berjatuhan,” ujarnya.
Farid menilai, kesalahan paling nyata adalah ambisi program yang melampaui kesiapan infrastruktur. “Memberi makan jutaan anak setiap hari menuntut dapur yang higienis, rantai distribusi steril, tenaga terlatih, dan pengawasan ketat. Tanpa itu, program ini seperti menyalakan mesin jumbo jet di landasan tanah—yang terjadi bukan keberangkatan, melainkan kecelakaan berulang,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kecenderungan pemerintah mereduksi korban hanya sebagai angka. “Kita mendengar ‘196 siswa keracunan’ atau ‘36 dirawat’, seakan selesai dengan statistik. Padahal, di balik angka itu ada anak yang meringkuk menahan sakit, orang tua yang cemas, dan guru yang dihantui rasa bersalah. Itu bukan sekadar data, tapi nyawa,” kata Farid.
Lebih jauh, ia mengungkap adanya dugaan permainan rente dalam proyek MBG. “Sejumlah yayasan yang dekat dengan lingkar kekuasaan disebut ikut menguasai pengadaan. Guru yang seharusnya fokus mendidik dipaksa mengurus distribusi, bahkan dipersalahkan bila terjadi keracunan. Mereka menanggung beban moral dan birokrasi, sementara pihak besar menikmati keuntungan,” ungkapnya.
Farid membandingkan MBG dengan program serupa di negara lain. India, katanya, pernah mengalami tragedi keracunan yang menewaskan 23 siswa di Bihar pada 2013. Namun pemerintah India merespons dengan merombak total standar keamanan pangan, mulai dari dapur sentral, laboratorium penguji, hingga melibatkan komunitas lokal. “Program tetap berjalan, tapi dengan pengawasan berlapis,” jelasnya.
Sementara Jepang, tambah Farid, menjadikan makan siang sekolah (kyūshoku) sebagai bagian kurikulum. Anak-anak bukan hanya menerima makanan, tapi juga belajar gizi, kebersihan, hingga asal-usul bahan pangan. “Ada transparansi dan rasa kepemilikan, sehingga program aman sekaligus mendidik,” ujarnya.
Sayangnya, di Indonesia perbaikan yang dilakukan justru bersifat tambal sulam. “Alih-alih memperkuat sistem, yang diatur justru hal-hal remeh, seperti telur harus direbus atau diceplok. Seakan satu butir telur cukup menutupi cacat manajemen yang sistemik,” kritik Farid.
Ia menegaskan, MBG masih bisa diselamatkan jika pemerintah berani melakukan reformasi menyeluruh. Standar keamanan pangan harus ditegakkan tanpa kompromi, audit independen wajib dilakukan, dan transparansi anggaran menjadi syarat mutlak. “Yang tidak kalah penting, libatkan komunitas lokal sebagai mitra dan pengawas, serta copot aktor-aktor yang menjadikan program ini ladang rente,” katanya.
“Anak-anak tidak boleh dijadikan kelinci percobaan dari program yang mestinya melindungi mereka. Jika pemerintah sungguh peduli, hentikan sikap defensif, lakukan evaluasi total, dan kembalikan MBG pada tujuan sejatinya—memberi gizi, bukan memberi risiko,” pungkas Farid. (*)