TAJDID.ID~Medan || Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah untuk meningkatkan kualitas gizi anak bangsa kini menghadapi sorotan tajam. Sejumlah kasus keracunan massal siswa di berbagai daerah serta dugaan penggunaan minyak babi pada ompreng impor dari Tiongkok membuat legitimasi program ini dipertanyakan.
Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai pemerintah harus segera menghentikan sementara distribusi MBG hingga sistem pengelolaannya diperbaiki secara menyeluruh. Menurutnya, fakta yang muncul belakangan ini menyentuh aspek paling sensitif di masyarakat Indonesia, yakni halal, kesehatan, dan kepercayaan publik.
“Langkah paling rasional saat ini adalah menghentikan sementara distribusi MBG. Program ini harus dibenahi total, bukan sekadar ditambal dengan klarifikasi atau investigasi terbatas,” kata Farid di Medan, Kamis (18/9).
Berita Terkait: Ethics of Care Nilai Alokasi Anggaran MBG Berpotensi Menggerus Prioritas Utama Pendidikan
Farid menilai ada empat persoalan mendasar yang membuat MBG kehilangan legitimasi. Pertama, tata kelola rantai pasok yang lemah. “Program nasional mestinya punya sistem audit ketat sejak hulu. Tapi yang kita lihat justru dugaan pemalsuan label, lemahnya verifikasi pemasok, bahkan penggunaan pelumas berbasis lemak babi. Sertifikasi halal seharusnya jadi syarat utama sejak awal, bukan formalitas di akhir,” ujarnya.
Kedua, koordinasi antar-lembaga dinilai tidak terpadu. Menurut Farid, publik menerima informasi yang saling bertabrakan dari BPOM, BPJPH, MUI, hingga pemerintah daerah. “Kekacauan narasi ini justru memberi ruang luas bagi rumor dan hoaks. Akhirnya publik makin tidak percaya,” tambah Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 ini.
Ketiga, aspek halal dianggap diabaikan. Farid menegaskan, dalam perspektif halal, dugaan kontaminasi pelumas berbahan hewani tidak bisa ditoleransi. “Di Indonesia, halal bukan sekadar label, tapi identitas dan legitimasi sosial. Begitu muncul tuduhan minyak babi, legitimasi moral program langsung runtuh,” tegasnya.
Keempat, lemahnya pengawasan kualitas pangan. Kasus keracunan massal memperlihatkan standar keamanan pangan tidak dibangun sistemik. “Negara sibuk menyalurkan makanan, tapi lupa memastikan mutunya. Penanganan insiden selalu reaktif, bukan struktural,” katanya.
Farid mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi struktural, termasuk membentuk satuan tugas lintas lembaga dengan kewenangan penuh. “BPOM harus pegang aspek keamanan pangan, BPJPH-MUI untuk halal, dan BGN untuk distribusi. Selain itu, industri domestik harus diperkuat agar mampu memproduksi wadah sesuai standar halal-SNI,” jelasnya.
Ketua Majelis Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Sumut ini juga menekankan pentingnya sistem penelusuran digital (traceability) agar publik bisa melacak asal-usul setiap batch makanan. “Kalau ini dijalankan, kepercayaan publik bisa dipulihkan,” tutup Farid.
Program MBG sebelumnya diluncurkan pemerintah dengan tujuan memberi akses makanan sehat dan bergizi bagi anak sekolah. Namun, serangkaian persoalan membuat kebijakan ini kini menjadi polemik nasional.(*)