TAJDID.ID~Sidrap || Udara pagi di pelataran Masjid Agung Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, Sabtu, 13 September 2025, dipenuhi keriuhan ribuan santri dari berbagai pesantren Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah berkumpul. Mereka mengenakan seragam Hizbul Wathan dan baju khas organisasi otonom Muhammadiyah. Bendera-bendera berkibar, yel-yel bersahutan, dan tepuk tangan bergema.
Di tengah suasana meriah itu, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan menggelar Kemah Tahfidz dan Bahasa VIII, sebuah agenda tahunan yang telah menjadi ikon kaderisasi persyarikatan di kawasan ini. Tidak kurang dari 4.000 peserta hadir, menjadikan Sidrap sebagai pusat perhatian.
Sidrap sebagai Lumbung Ulama
Bupati Sidrap, Syaharuddin Alrif, yang juga kader asli Muhammadiyah, tampil penuh semangat dalam sambutannya. Ia menyambut kedatangan ribuan santri dengan lantunan salam berbahasa Arab, lalu menegaskan visi besar untuk daerahnya.
“Allah takdirkan saya memimpin Sidrap karena proses kaderisasi Muhammadiyah. Dari ranting, cabang, daerah, hingga pusat, semua saya jalani. Kini saatnya saya kembalikan itu untuk Sidrap,” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.
Syaharuddin berkomitmen mengarahkan Sidrap bukan hanya sebagai lumbung beras dan telur nasional, tetapi juga sebagai lumbung penghafal Al-Qur’an. Ia menargetkan dalam lima tahun ke depan, Sidrap dapat melahirkan lebih banyak kader ulama yang siap memimpin bangsa.
“Tiga unsur—umara, ulama, dan aghnia—harus bersatu. Insya Allah, Sidrap bisa menjadi daerah yang religius sekaligus pusat lahirnya penghafal Al-Qur’an,” tegasnya.
Enam Budaya Pesantren
Sementara itu, Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren Muhammadiyah Pimpinan Pusat, Dr. Maskuri, M.Ed, menyampaikan pesan penting mengenai nilai-nilai yang harus ditanamkan dalam diri santri Muhammadiyah. Ia menyebut 20 budaya pesantren, namun menekankan enam poin utama yang menjadi pilar: disiplin, mandiri, ramah santri, kerja sama, peduli lingkungan, dan manajemen sehat.
Menurut Maskuri, pendidikan di pesantren Muhammadiyah berbeda dari sekolah umum. Santri dibina 24 jam penuh oleh para mudir, ustaz, ustazah, hingga musyrif. “Karena itu disiplin mereka harus lebih tinggi. Mereka juga dididik agar mandiri, tinggal di asrama enam tahun adalah ujian tersendiri,” jelasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya pesantren ramah santri untuk mencegah kekerasan atau perundungan. Hubungan antarsantri, antara santri dan pengasuh, harus dibangun dengan kasih sayang. “Budaya sopan santun, tutur kata yang baik, akan terbentuk jika relasi di pesantren dijaga dengan baik,” katanya.
Selain itu, Kemah Tahfidz dianggap sebagai sarana nyata untuk melatih kerja sama. “Mendirikan tenda, memasak bersama, atau melaksanakan lomba—semua itu membentuk jiwa kolaborasi. Dari sinilah lahir kader yang siap memimpin umat,” tambahnya.
Wadah Silaturahmi dan Kaderisasi
Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel, Prof. Ambo Asse, M.Ag, mengapresiasi konsistensi kegiatan ini. Menurutnya, Kemah Tahfidz dan Bahasa di Sulsel sudah menjadi contoh nasional. “Belum ada pimpinan wilayah lain di Indonesia yang melaksanakan seperti ini. Bahkan Pimpinan Pusat baru sekali mengadakan secara nasional tahun lalu. Jadi, Sulsel adalah pelopor,” ujarnya.
Ia menilai kemah ini bukan sekadar ajang perlombaan atau perkumpulan, melainkan wadah strategis untuk membangun kaderisasi Muhammadiyah. “Dari pondok-pondok pesantren ini kita harapkan lahir generasi yang unggul, beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Inilah harapan masa depan umat dan bangsa,” kata Ambo Asse.
Suasana Lapangan
Sejak Jumat, peserta dari berbagai daerah di Sulsel berdatangan. Mereka mendirikan tenda di sekitar area masjid, membawa peralatan sederhana, namun penuh semangat kebersamaan.
Panitia juga menyiapkan pasar murah bekerja sama dengan Bulog. Bupati Syaharuddin bahkan berseloroh, “Jangan lupa beli telur dan beras untuk oleh-oleh pulang. Harganya lebih murah di Sidrap,” katanya yang disambut tawa hadirin.
Pemanasan Menuju Muswil 2028
Selain sebagai ajang pembinaan, kegiatan ini juga dipandang sebagai pemanasan menuju Musyawarah Wilayah Muhammadiyah Sulsel ke-41 pada 2028. Pemerintah Kabupaten Sidrap sudah menyiapkan rencana pembangunan gedung representatif untuk menyambut agenda besar itu.
Prof. Ambo Asse menyebut, pembangunan infrastruktur pendidikan dan dakwah Muhammadiyah di Sulsel terus berkembang. Ia bahkan tengah menyiapkan buku tentang perkembangan pendidikan Muhammadiyah di Sulsel yang ditargetkan terbit sebelum milad Muhammadiyah ke-113 pada November mendatang.
Kemah Tahfidz dan Bahasa VIII bukan hanya pertemuan tahunan biasa. Di balik tenda-tenda sederhana dan lantunan ayat, tersimpan visi besar Muhammadiyah untuk membangun generasi yang tercerahkan. Santri-santri dilatih bukan sekadar menjadi penghafal Al-Qur’an, tetapi juga pemimpin yang peduli lingkungan, terbiasa bekerja sama, serta siap mengabdi untuk masyarakat.
Bagi Sidrap, kegiatan ini membawa kebanggaan tersendiri. Kehadiran ribuan santri diharapkan membawa keberkahan, sekaligus meneguhkan posisi kabupaten ini sebagai salah satu pusat pendidikan Islam modern di Indonesia Timur.
“Kalau kelak bupati, gubernur, bahkan presiden berasal dari alumni pesantren Muhammadiyah, negara ini akan sejahtera lahir batin,” kata Maskuri optimistis.
Muhammadiyah Sulawesi Selatan telah menunjukkan model kaderisasi yang konsisten dan berkesinambungan melalui Kemah Tahfidz dan Bahasa. Tradisi ini bukan hanya memperkuat jaringan pesantren, tetapi juga mempertegas identitas Muhammadiyah sebagai gerakan pendidikan dan dakwah yang melahirkan pemimpin bangsa. (*)
✒️ Hadi Saputra