TAJDID.ID~Medan || Pemberian tanda kehormatan negara berupa Bintang Mahaputera kembali menuai sorotan. Shohibul Anshor Siregar, pemerhati politik dari FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), menilai bahwa keputusan pemerintah dalam memberikan penghargaan tidak sekadar administratif, melainkan sarat makna politik simbolik.
“Bintang Mahaputera bukan hanya tanda jasa formal. Ia adalah alat politik nilai. Negara sedang mengirim pesan tentang siapa yang dianggap teladan, apa yang disebut jasa besar, dan nilai apa yang sedang diagungkan pada periode tertentu,” ujar Shohibul, Selasa (27/8).
Shohibul menyoroti pemberian Bintang Mahaputera Utama (kelas tiga) kepada Ketua Umum dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah. Menurutnya, penghargaan tersebut tidak sebanding dengan kontribusi besar Muhammadiyah dalam sejarah, moral, intelektual, maupun sosial bangsa.
“Muhammadiyah, sama halnya dengan NU, bukan sekadar ormas. Ia berperan membentuk identitas bangsa, etos pendidikan, kesehatan, dan moral publik. Dalam situasi krisis nilai hari ini, pemimpin organisasi semacam ini justru menjadi salah satu fondasi terakhir rekonstruksi nilai kebangsaan,” jelasnya.
Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumatera Utara ini menilai, keputusan ini bisa saja dipengaruhi oleh pertimbangan politis, seperti menjaga hierarki jabatan dan menghindari kesan bahwa pemimpin ormas setara dengan pejabat negara tertinggi.
“Apa Prabowo tak sadar negeri ini sedang krisis nilai? Mengingatkan bahwa keputusan semacam ini tidak netral. Bisa jadi ada perhitungan politis, misalnya menjaga hierarki, menghindari kesan bahwa pemimpin ormas setara dengan pejabat negara tertinggi, atau ada bias struktural dalam tradisi birokrasi penghargaan,” tegas
Namun, kata Shohibul, jika diukur dari urgensi moral bangsa, semestinya pemimpin ormas keagamaan dan sosial mendapat penghargaan pada tingkat tertinggi.
“Jika ditimbang dengan urgensi moral bangsa hari ini, logikanya justru pemimpin ormas yang membina nilai, etika, dan visi peradabanlah yang lebih pantas mendapat kelas tertinggi,” jelasnya.
Shohibul menyampaikan kritik, bahwa pemberian tanda kehormatan yang kurang proporsional justru berpotensi memperdalam krisis nilai itu sendiri. Menurutnya, Negara seolah menilai kontribusi politik formal lebih tinggi daripada kontribusi moral, intelektual, dan kultural. Padahal, dalam sejarah bangsa, yang menyelamatkan Indonesia dari krisis seringkali bukan hanya para pejabat, tapi juga pemikir, pendidik, ulama, dan aktivis sosial.
“Kalau boleh saya simpulkan, dilema ini menegaskan bahwa Bintang Mahaputera bukan hanya soal siapa berjasa, tapi juga cermin orientasi nilai rezim,” sebutnya.
Terakhir ia menegaskan, dilema ini menandakan bahwa pemberian Bintang Mahaputera sejatinya merupakan cermin orientasi nilai dari rezim yang sedang berkuasa. (*)