Oleh: M. Risfan Sihaloho
Delapan puluh tahun merdeka. Usia yang matang bagi sebuah bangsa, seharusnya. Tapi sering kali, ketika kita menatap ke cermin sejarah, yang terlihat bukanlah wajah bangsa yang gagah, melainkan potret buram rakyat yang masih sibuk mencari sesuap nasi, sementara elite sibuk mencari suapan proyek.
Dulu, kemerdekaan diraih untuk membebaskan diri dari penjajahan asing. Namun sesungguhnya penjajah itu masih ada, hanya berganti rupa! Kalau dulu Belanda datang dengan bedil, sekarang banyak “tuan baru” hadir dengan utang, investasi, kontrak tambang, bahkan dengan algoritma digital yang mengatur isi kepala kita.
Kalau dulu bangsa ini melawan tanam paksa, sekarang kita senyum-senyum dan pasrah saja melihat sawit, nikel, dan emas keluar dari tanah sendiri, tanpa pernah benar-benar bisa ikut menikmati.
Baca juga: Makna Imanensi Kemerdekaan
Setiap 17 Agustus, kita selalu diminta untuk eforia dan disuruh teriak “Merdeka!”, tapi apa benar merdeka itu milik rakyat? Apa betul merdeka sudah dirasakan rakyat?
Mari jujur, apakah rakyat kecil hari ini sudah benar-benar merdeka dari kemiskinan? Apakah petani merdeka menentukan harga gabahnya, atau justru dimerdekakan dari lahannya sendiri? Apakah buruh merdeka berserikat, atau hanya diberi “kemerdekaan” untuk menjadi angka statistik produktivitas? Apakah mahasiswa merdeka berpikir kritis, atau sekadar dimerdekakan menjadi “content creator” demi algoritma?
Lalu, demokrasi. Kita dipuji dunia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga. Hebat? Ya, kalau demokrasi hanya diukur dari jumlah kotak suara dan baliho caleg. Tapi coba tanyakan pada rakyat kecil: apakah mereka benar-benar merasa berdaulat, atau sekadar menjadi angka dalam kalkulasi elektoral yang segera dilupakan setelah pesta usai?
Hari ini, kita memang punya kebebasan bersuara, tapi tak jarang yang bersuara justru dituduh makar.
Kita punya demokrasi, tapi kedaulatan rakyat sering berhenti di bilik suara, sebelum kemudian disulap oleh oligarki.
Kita punya otonomi daerah, tapi sepertinya yang tumbuh bukan kemandirian dan kesejahteraan, melainkan raja-raja kecil dengan kekuasaan tak kalah rakus dari penjajah masa lalu.
Merdeka seharusnya berarti berdaulat. Tapi yang kita lihat justru sebaliknya: utang menumpuk, data pribadi dijual murah, ruang publik dipersempit, dan kebijakan sering kali lebih ramah pada investor ketimbang pada rakyat. Apa bedanya dengan zaman kolonial, kalau tambang, hutan, dan tanah masih jadi rebutan asing—dengan restu pejabat negeri sendiri?
Lantas, 80 tahun merdeka ini kita merayakan apa? Panjat pinang? Gapura hiasan? Atau justru panjat jenjang kuasa yang hanya bisa diraih segelintir orang?
Pertanyaan paling getir adalah ini: apakah kita masih bangsa pejuang, atau sudah puas jadi bangsa penonton. Menonton elite berpesta, menonton sumber daya dijarah, menonton masa depan dijual di meja negosiasi?
Jangan-jangan, kemerdekaan selama 80 tahun ini tak lebih dari sekadar upacara tahunan—meriah di permukaan, hampa di dalam.
Delapan puluh tahun merdeka seharusnya bukan sekadar nostalgia perjuangan, melainkan juga kontemplasi masa depan. Karena yang paling mengerikan bukanlah kehilangan kemerdekaan di atas kertas, melainkan ketika rakyat tak lagi merasa punya hak untuk bertanya: merdeka ini, untuk siapa?
Jika faktanya rakyat masih berbalut derita, lantas untuk apa teriak: Merdeka! (*)