TAJDID.ID~Medan || Pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang menyebut “semua tanah di Indonesia pada dasarnya milik negara” menuai sorotan publik. Meski Nusron kemudian meminta maaf dan mengklarifikasi bahwa ucapannya hanya bersifat guyon, kritik tetap mengalir, termasuk dari Founder Ethics of Care, Farid Wajdi.
Nusron menjelaskan, yang dimaksud dalam pernyataannya adalah penertiban terhadap lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang terbengkalai. Ia menegaskan, tidak ada niat menyasar tanah rakyat seperti sawah, pekarangan, atau tanah warisan yang sudah memiliki sertifikat Hak Milik maupun Hak Pakai.
Namun, menurut Farid, candaan dalam isu agraria bukanlah hal netral. “Tanah itu bukan sekadar objek hukum atau komoditas. Ia menyimpan sejarah panjang, memori sosial, dan identitas kultural,” ujarnya, Rabu (13/8).
Ia mengingatkan, frasa seperti “semua tanah milik negara” bisa memicu ingatan kolektif tentang perampasan hak rakyat, penggusuran paksa, hingga kebijakan sepihak yang merugikan komunitas lokal. “Di negeri dengan sejarah ketimpangan penguasaan lahan sejak era kolonial, satu kata yang keliru bisa memicu trauma lama,” kata Farid.
Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 menilai, ucapan pejabat publik, apalagi seorang menteri, akan selalu dipandang sebagai sinyal kebijakan, bukan sekadar obrolan santai. “Kelompok rentan seperti petani dan masyarakat adat akan membaca ucapan itu sebagai indikasi arah kebijakan. Maka, empati dan literasi kebijakan jadi kunci,” tegasnya.
Ia juga menyoroti risiko politik bagi Presiden Prabowo jika pola komunikasi seperti ini berulang. “Ucapan yang sembrono bisa mencoreng citra pemerintah, apalagi di tengah rapuhnya kepercayaan publik terhadap reforma agraria,” jelas Farid.
Menurutnya, guyonan pejabat pada isu sensitif harus diukur dengan dampak sosial dan psikologis yang ditimbulkan. “Humor di politik itu mahal. Ia bisa jadi jembatan, tapi juga jurang. Apalagi kalau menyangkut hajat hidup orang banyak,” tambahnya.
Farid menegaskan, permintaan maaf Nusron adalah langkah awal yang baik. Namun ia mendorong adanya refleksi mendalam. “Pertanyaannya, ucapan itu membangun atau justru membelah kepercayaan publik? Pejabat publik harus piawai mengatur tanah dan pandai menjaga kata,” pungkasnya. (*)