Oleh : Rudianto
Wakil Rektor III UMSU
Sejak lama saya mendengar nama kota Alexandria. Mendengar namanya saja sudah membangkitkan imajinasi tentang sebuah kota yang indah, eksotis, dan sarat sejarah peradaban. Dalam hati sering terbesit keinginan: suatu hari, entah kapan, saya ingin datang ke sana yang menyaksikan jejak sejarah kehebatan Alexander yang agung. Dan keinginan itu menjadi kenyataan kala saya berkunjung ke Mesir di akhir bulan Juli yang panas pada tahun 2025.
Alexandria adalah kota pelabuhan yang terletak di tepi Laut Mediterania, sekitar tiga jam perjalanan dari Kairo. Udara laut yang segar, suasana kota yang padat, serta bangunan-bangunan tua yang mulai termakan usia menyambut saya begitu tiba. Di balik hiruk pikuknya, kota ini menyimpan jejak sejarah yang panjang.
Kota ini didirikan oleh Alexander yang Agung pada tahun 331 SM, menjadikannya lebih dari 1.400 tahun lebih tua dari Kairo. Kota ini dibangun sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan internasional yang strategis karena terletak di antara Laut Mediterania dan Danau Mariut. Alexander menunjuk arsitek Dinocrates dari Rodos untuk merancang kota ini. Tak lama setelah dibangun, Alexandria berkembang menjadi salah satu kota terbesar, terkaya, dan paling berbudaya di dunia kuno.
Baca juga 👉 Mesir: Negeri Paradoks (Catatan Ringkas)
Alexander yang Agung adalah pemimpin di abad ke-3 Sebelum Masehi (SM) yang menaklukkan dunia dari daratan Yunani, Laut Tengah, Mesir, Asia, Persia hingga India Utara.
Setelah kematian Alexander, Mesir dikuasai oleh jenderalnya, Ptolemy, yang kemudian mendirikan Dinasti Ptolemaik. Dinasti ini menjadikan Alexandria sebagai ibu kota, dan di sinilah kota ini mencapai masa kejayaannya.
Salah satu peninggalan paling bersejarah dari masa itu adalah Perpustakaan Besar Alexandria. Perpustakaan ini diperkirakan menyimpan antara 40.000 hingga 400.000 gulungan papirus yang berisi pengetahuan dari berbagai belahan dunia. Perpustakaan ini dibangun pada masa Ptolemaios II Philadelphus, sebagai lanjutan dari ide yang diusulkan oleh Demetrios dari Athena kepada Ptolemaios I Soter. Perpustakaan itu menjadi simbol keilmuan dan peradaban dunia.
Sayangnya, berbagai peristiwa seperti kebakaran dan peperangan menghancurkan hampir seluruh koleksinya. Kini, semangat dan warisan perpustakaan itu dihidupkan kembali melalui Bibliotheca Alexandrina, perpustakaan modern yang berdiri di tepi laut, tidak jauh dari lokasi perpustakaan kuno. Saya sempat mengunjunginya, dan merasa takjub dengan desainnya yang modern, koleksi bukunya yang beragam, serta semangat belajar yang terasa kental di dalamnya.
Namun, Alexandria tidak hanya tentang warisan Yunani atau Romawi. Kota ini juga menyimpan kekayaan spiritual penting bagi umat Islam. Di sebuah masjid tua di tengah kota, saya mengunjungi dua makam tokoh besar yang terletak di ruang bawah tanah: makam Nabi Daniel dan makam Luqman Al-Hakim.
Nabi Daniel dikenal sebagai salah satu nabi yang dihormati dalam tradisi Islam, meskipun tidak termasuk dalam 25 nabi yang disebut dalam Al-Qur’an. Nabi Daniel adalah seorang nabi yang berasal dari kalangan Bani Israil. Secara nasab, ia masih dianggap sebagai keturunan Nabi Daud as. Menurut literasi ahli kitab, Nabi Daniel hidup pada abad ke-6 SM. Periode waktu tersebut sekitar lima abad sebelum era Nabi Isa as serta dua belas abad sebelum kenabian Muhammad SAW. Di sebelah Makam Nabi Daniel terdapat makam Luqman Al-Hakim, tokoh bijak yang namanya diabadikan dalam Surah Luqman. Ia bukan nabi, tapi sosok yang diberi hikmah oleh Allah SWT. Nasihat-nasihatnya kepada anaknya, menjadi pelajaran penting tentang iman, akhlak, dan kebijaksanaan hidup.
Salah satu kisah Luqman yang terkenal adalah ketika ia dan anaknya melakukan perjalanan dengan seekor keledai. Apapun yang mereka lakukan siapa yang naik, siapa yang menuntun selalu dikomentari dan dikritik oleh orang-orang. Hingga akhirnya Luqman berkata kepada anaknya:
“Anakku, tidak ada satu pun cara untuk menyenangkan semua orang. Maka lakukanlah yang benar menurut Allah, jangan hidup untuk memuaskan manusia.”
Nasihat ini terasa sangat relevan dalam kehidupan kita hari ini, di tengah masyarakat yang mudah menilai, namun tak selalu tahu yang sebenarnya.
Saat ini, Alexandria (bahasa Arab: Al-Iskandariyyah; Yunani: Alexándreia; Koptik: Rakotə) merupakan kota terbesar kedua di Mesir setelah Kairo, dan menjadi ibu kota Kegubernuran Alexandria. Kota ini berlokasi sekitar 208 kilometer barat laut Kairo, dengan populasi lebih dari 3,3 juta jiwa.
Sayangnya, meski pernah mencapai puncak kejayaan, Alexandria kini tidak memiliki banyak peninggalan fisik dari masa lampau. Sebagian besar menurut catatan sejarah bangunan kuno telah hancur karena gempa bumi, peperangan, atau pembangunan kota modern. Namun, aroma sejarah itu masih terasa kuat dalam gang-gang sempit yang padat, dalam arsitektur tua bergaya kolonial, dan dalam taksi-taksi tua peninggalan tahun 70-an dan 80-an yang masih melayani penumpang.
Alexandria adalah kota eksotik yang menyatukan sejarah, ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai kebijaksanaan. Mengunjunginya bukan hanya perjalanan geografis, tetapi juga perjalanan batin. Dari Alexander yang Agung hingga Luqman Hakim, dari gulungan papirus hingga buku digital, dari kejayaan yang runtuh hingga hikmah yang tetap hidup Alexandria mengajarkan bahwa warisan terbesar dari peradaban adalah pengetahuan dan kebijaksanaan yang terus diwariskan lintas zaman. (*)