Oleh : Rudianto
Wakil Rektor III UMSU
Mesir adalah negeri yang penuh pesona sejarah dan spiritualitas. Di sinilah peradaban besar manusia pernah berjaya dari Mesir Kuno yang melahirkan Firaun dan Piramida, hingga era keemasan Islam yang menjadikan Kairo sebagai mercusuar ilmu dan kebudayaan dunia. Negeri ini juga menjadi saksi langkah para nabi: Musa, Yusuf, dan lainnya, yang kisahnya diabadikan dalam kitab suci.
Tak sedikit pula tokoh-tokoh besar Islam ulama, cendekiawan, dan pembaharu lahir dari bumi ini dan menyinari dunia Islam dengan pemikiran dan pengetahuannya.
Universitas Al-Azhar, yang berdiri sejak abad ke-10, adalah salah satu simbol utama warisan agung itu. Al-Azhar hingga kini menjadi destinasi belajar favorit yang dihormati, termasuk oleh para pelajar dari Indonesia yang datang dengan semangat menimba ilmu dan mendapatkan berkah spiritual dari tanah para nabi dan ulama.
Namun, ketika saya berkunjung ke Kairo dan Alexandria pada akhir Juli 2025, saya menyaksikan langsung wajah lain dari negeri ini wajah yang menyimpan paradoks yang menyentak. Kairo, ibu kota yang dahulu menjadi pusat ilmu dan kekuasaan, kini tampak kumuh, padat, dan tertinggal. Alexandria pun tak jauh berbeda. Kemiskinan terlihat jelas dan merata. Kota ini seolah tak sanggup mengejar zaman, seakan terperangkap dalam sisa-sisa kejayaan masa lalu.
Sampah berserakan di taman-taman, trotoar, bahkan di sekitar permukiman warga. Kucing dan anjing liar bermain dan tidur di tumpukan sampah yang menyedihkan. Banyak bangunan tua, reruntuhan, dan bekas makam ribuan jumlahnya berdiri di tengah permukiman warga simbol kekumuhan yang nyaris permanen.
Ironisnya, masyarakat tampak sudah terbiasa. Seolah-olah hidup berdampingan dengan sampah dan kehancuran bukan lagi masalah, tetapi realitas yang diterima begitu saja.

Salah satu pemandangan yang sangat menyentuh hati adalah kondisi makam Imam Syafi’i, seorang ulama besar yang ajarannya menjadi mazhab mayoritas bagi umat Islam di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Makam yang seharusnya menjadi tempat ziarah penuh hormat dan penghargaan itu kini berdiri di tengah kawasan yang penuh reruntuhan makam tua yang tidak terurus.
Pembangunan New Cairo memang sedang berlangsung sebuah ambisi besar untuk menghadirkan wajah modern dan “western” bagi Mesir. Tetapi proyek ini masih sangat kecil dibandingkan dengan skala ketertinggalan Kairo secara keseluruhan. Untuk saat ini, ia belum mampu menjawab tantangan keseharian masyarakat urban Mesir yang hidup dalam tekanan ekonomi, keterbatasan layanan publik, dan lingkungan yang nyaris tanpa harapan perbaikan cepat.
Yang paling simbolik adalah Sungai Nil. Sungai yang begitu indah, lebar, dan sarat dengan kisah sejarah. Ia tampak tenang, gagah, dan jernih di beberapa sisi seakan menyembunyikan kesenjangan dan ketertinggalan yang mengelilinginya. Sungai Nil menjadi metafora Mesir itu sendiri: megah dalam bayangan sejarah, tetapi rapuh dalam kenyataan hari ini.
Namun di tengah-tengah wajah kota yang kumuh dan penuh ironi itu, satu hal yang sungguh membuat saya terkesan adalah Perpustakaan Alexandria Bibliotheca Alexandrina. Bangunannya megah, arsitekturnya modern, dan koleksi literatur serta bukunya sangat lengkap. Di tengah hiruk-pikuk Alexandria yang padat dan berantakan, perpustakaan ini hadir bagaikan oasis ilmu pengetahuan yang sejuk dan menginspirasi. Ia bukan hanya simbol kejayaan intelektual masa lalu, tetapi juga harapan bahwa Mesir masih menyimpan bara semangat untuk bangkit melalui ilmu dan budaya.

Selain itu, saya juga berkesempatan mengunjungi National Research Institute of Astronomy and Geophysics (NRIAG) di Helwan, sekitar satu jam perjalanan dari Kairo. Terletak di tengah padang pasir yang gersang, lembaga ini menyimpan fasilitas riset yang mengagumkan: mulai dari observatorium astronomi yang canggih, hingga laboratorium geofisika yang meneliti struktur bumi dan fenomena alam. Saya bertemu dengan para profesor dan peneliti yang bekerja mendalami langit dan inti bumi sebuah pengingat bahwa di balik wajah kota yang kumuh, peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi di Mesir tetap hidup dan terus berdenyut. Tempat ini adalah bukti bahwa Mesir masih menjadi rumah bagi riset-riset besar dan mimpi-mimpi sains yang melampaui batas zaman.
Mesir tetaplah negeri yang luar biasa dalam narasi sejarah dan spiritualitas. Tetapi di balik warisan agung itu, ia juga menghadirkan kenyataan yang pahit. Mesir adalah negeri paradoks: tempat lahirnya peradaban, namun terjebak dalam ketertinggalan yang nyata.
Di antara reruntuhan dan kesemrawutan, masih ada titik-titik cahaya dan Universitas Al Azhar, perpustakaan Alexandria serta NRIAG adalah sebagian di antaranya. (*)