TAJDID.ID~Medan || Founder Ethics of Care, Farid Wajdi mengatakan, wajah Kota Medan kini tampak sibuk berhias. Di sudut-sudut kota, baliho besar menampilkan senyum para pejabat dan slogan “Transformasi Kota Medan”. Jalan diperlebar, taman dirapikan, dan fasilitas publik diperbarui.
“Namun di balik janji pembangunan itu, warga justru menyaksikan kenyataan yang jauh dari harapan. Di tengah kota yang terus dibenahi, proyek-proyek raksasa justru tampak pincang: sebagian mangkrak, sebagian bermasalah, dan tak sedikit yang bikin publik geleng kepala,” ujar Farid, Ahad (20/7).
Ia mengungkapkan, salah satu proyek paling kontroversial adalah Lampu Jalan LED yang kini akrab disebut warga sebagai “Lampu Pocong”. Menurut Farid, proyek yang seharusnya menjadi simbol penerangan kota itu justru berujung gelap gulita. Dengan anggaran mencapai Rp25,7 miliar dari APBD 2022–2023, lampu-lampu tersebut rusak bahkan sebelum berfungsi. Audit internal menyebut proyek ini sebagai “kerugian total”, dan kontraktor diminta mengembalikan Rp21 miliar. Tapi hingga pertengahan 2025, uang itu belum juga kembali. “Warga pun bertanya: siapa yang bermain di balik proyek gelap ini?” kata Farid.
Kemudian, lanjut Farid, yang tak kalah fantastis adalah proyek Revitalisasi Lapangan Merdeka, yang diharapkan menjadi ikon baru ruang terbuka kota. Sayangnya, kata Farid, proyek ini justru menimbulkan polemik. Ia membeberkan, dibagi ke dalam tiga tahap, anggaran yang digelontorkan mencapai Rp632,5 miliar: Tahap I (2022): Rp97,5 miliar, Tahap II: Rp318,5 miliar pada 2023 dan Rp181,7 miliar pada 2024, dan Tahap III (2025): Rp38 miliar.
“Meski sempat diresmikan awal 2025, kegembiraan warga langsung pupus setelah terungkap penggunaan material bekas untuk basement lift. Tak sekadar ceroboh, hal ini mencerminkan lemahnya kontrol mutu dalam proyek berskala besar,” ujar Farid.
Kemudian, lanjutnya, perhatian publik tertuju ke Stadion Teladan, stadion bersejarah yang dirancang untuk direnovasi total dengan skema pembiayaan gabungan. Pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR menyuntikkan Rp300 miliar, sedangkan Pemko Medan menyumbang Rp260 miliar, menjadikan total anggaran revitalisasi Rp560 miliar.
Namun proyek ini molor dari target awal Oktober 2024, dan baru diperkirakan rampung antara April hingga Juni 2025.
Ironisnya, kata Farid, pada 2025 pemerintah kota kembali mengalokasikan tambahan dana sebesar Rp81 miliar—yakni Rp37 miliar untuk memperbaiki fasad dan Rp44,2 miliar untuk furnitur serta interior stadion.
Lalu ada proyek revitalisasi Lapangan Kebun Bunga, ruang terbuka yang selama ini menjadi tempat favorit warga bersantai. Meski tak banyak disorot media, Farid mengungkapkan anggaran proyek ini tak main-main: Rp161,9 miliar dari APBD 2023–2024. Namun hingga pertengahan 2025, hasil fisik belum terlihat jelas, bahkan progresnya pun tak banyak diketahui publik.
Merujuk berbagai media dan sumber, menurut Farid, jika keempat proyek ini dijumlahkan—Lampu Pocong, Lapangan Merdeka, Stadion Teladan, dan Kebun Bunga—total anggaran yang dikeluarkan mencapai lebih dari Rp1,46 triliun. “Jumlah yang mencengangkan, apalagi jika dibandingkan dengan minimnya output yang bisa dirasakan warga. Kota ini masih dihadapkan pada kemacetan, banjir, tumpukan sampah, dan keterbatasan ruang terbuka hijau,” tegas Farid.
Yang lebih memprihatinkan, Farid menilai pengawasan terhadap proyek-proyek ini nyaris tak terdengar. DPRD Kota Medan tak menunjukkan tanda-tanda pengawasan aktif. Tak ada panitia khusus, tak terdengar interpelasi, bahkan rapat pengawasan pun nyaris sunyi.
Selain itu, Inspektorat dan audit dari BPKP atau KPK belum menyentuh inti persoalan. Padahal, kata Farid, proyek dengan skema multi-tahun (multi years) sangat rawan dimanipulasi: dari perubahan spesifikasi hingga pembengkakan biaya secara sistematis.
Farid menegaskan, kini publik bukan hanya kecewa, tapi mulai muak. “Mereka (publik) menuntut audit investigatif, pembukaan dokumen kontrak proyek, serta keterlibatan aparat hukum yang lebih aktif.
Farid mengatakan, setiap rupiah dalam proyek ini adalah hasil jerih payah rakyat—dari pajak yang dipungut hingga retribusi yang dibayarkan. Jika tidak ada pertanggungjawaban yang jelas, maka proyek-proyek ini menurutnya hanya akan menjadi hiasan kosong: membangun citra, tapi bukan manfaat.
“Wajah Medan boleh bersolek, tapi tanpa transparansi dan integritas, ia hanyalah topeng dari kota yang sedang kehilangan arah!” pungkas Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 ini. (*)