Oleh: Ahmad Soleh
Konten dengan tagar #kesenjangansosial ramai mengudara di berbagai media sosial.
Di linimasa TikTok, misalnya, hampir setiap hari muncul video serupa dari kreator berbeda. Konten berupa video dengan teks dialog yang menggambarkan kesenjangan, salah satunya seperti konten milik akun @rizki.kreator.tangerang berikut:
A: “Itu alarm matiin dulu”
B: “Itu bukan alarm, itu suara token listrik habis”
(Kesenjangan Sosial)
Sekilas, memang ini tampak seperti “lucu-lucuan” belaka, tetapi apakah benar demikian? Ada apa dengan isu kesenjangan sosial? Apakah ini bentuk satire atas keresahan publik terhadap realitas saat ini?
Fenomena ini, meski dibalut komedi, sesungguhnya merefleksikan jurang ketidaksetaraan yang semakin lebar dalam masyarakat kita.
Kesenjangan sosial tidak hanya terbatas pada perbedaan ekonomi, namun juga merambah pada akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang layak, hingga kesempatan untuk berkembang dan berpartisipasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat.
Konten #kesenjangansosial sebagian besar memang berisi komedi satire. Lucu tapi tragis. Membuat kita bingung, harus tertawa atau menangis. Ingin tertawa karena memang ada sisi humornya. Namun, juga ingin menangis karena jika kondisi ini benar, ini sungguh memprihatinkan. Persis seperti judul lagu Fiersa Besari, “Komedi Tragis”.
Lawan dari “kesenjangan sosial” adalah keadilan sosial, frasa yang dapat kita temukan dalam landasan filosofis (philosophiche grondslag) bangsa Indonesia, yakni Pancasila.
Jika benar hari ini kesenjangan sosial itu kian menganga, ini patut membuat kita berpikir dan merenung, bagaimana mungkin di Negeri Pancasilais ini kesenjangan sosial bisa begitu lebar? Bukankah hal ini bertolak belakang dengan sila kelima “keadilan sosial”?
Lebih jauh lagi, nilai-nilai luhur Pancasila lainnya seperti persatuan, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta musyawarah untuk mufakat, juga mengamanatkan terciptanya masyarakat yang setara dan solider.
Pendidikan Kesetiakawanan
Fenomena yang terjadi di kalangan digital native (dan diikuti digital immigrant) di media sosial ini tidak sekadar menjadi ajang lucu-lucuan. Kita perlu menarik substansi pesannya bahwa ‘jurang’ antara si kaya dan si miskin kini terbuka begitu lebar dan kita membutuhkan jembatan untuk menghubungkannya. Salah satu jembatan untuk mengatasi kesenjangan sosial ini adalah dengan menumbuhkan kesetiakawanan sosial.
Dalam pidato pengukuhan guru besar Universitas Sanata Dharma bertajuk “Pedagogi Kesetiakawanan Digital Berdasarkan Filsafat Pendidikan Integral YB Mangunwijaya”, Prof. Dr. CB. Mulyatno, Pr. mengangkat isu kesetiakawanan sosial pada generasi digital native. Topik yang menarik dan relevan untuk masa sekarang.
Romo Mulyatno—sapaan akrabnya—mengatakan, teknologi digital seharusnya tidak hanya menjadi alat untuk mempercepat akses informasi, tetapi juga untuk membangun solidaritas, menghargai keberagaman, dan mengembangkan jiwa gotong-royong dalam komunitas digital. Pandangannya membawa optimisme bahwa generasi digital mampu menjadi manusia seutuhnya. Sebab, bukan suatu hal yang mustahil untuk menciptakan kesetiakawanan sosial pada generasi digital native, yang kerap mendapat pandangan stereotip sebagai generasi yang individualis dan minim kepedulian ini.
Perlu disadari, generasi yang cakap digital, seperti Gen Milenial (kelahiran 1981-1996), Gen Z (kelahiran 1997-2012), dan Gen Alpha (kelahiran 2010-2024), memiliki potensi dalam memimpin narasi di ruang digital. Pengaruh mereka di ruang digital bisa begitu masif dalam mempropaganda perubahan sosial secara lebih cepat.
Kecakapan digital ini dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan pesan-pesan empati, mengorganisir aksi solidaritas daring, atau bahkan membangun platform yang menghubungkan kelompok masyarakat yang berbeda.
Maka dari itu, potensi ini perlu didukung dengan sistem pendidikan yang mendorong kreativitas, keterbukaan, kolaborasi, dan kesetaraan. Romo Mulyatno (2025) mengatakan, hal tersebut dapat diwujudkan dengan menerapkan pendidikan integral seperti yang digagas oleh YB. Mangunwijaya (Romo Mangun).
Pendidikan integral mendorong terciptanya pola interaksi dialogis yang memerdekakan, sehingga proses pendidikan dapat menumbuhkan kecerdasan hati nurani dan menajamkan nalar kemanusiaan pada diri anak. Dengan pendekatan dialogis, anak akan terbiasa dengan diskursus, wacana, dan narasi yang perlahan akan menumbuhkan nalar kritisnya. Lantas, dari mana kita harus memulainya?
Dalam konteks pendidikan kesetiakawanan, pendekatan dialogis memungkinkan siswa untuk memahami perspektif yang berbeda, termasuk perspektif mereka yang kurang beruntung, sehingga menumbuhkan empati dan keinginan untuk bertindak.
Peran Guru dan Orang Tua
“Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua” adalah refleksi peringatan Hardiknas tahun 2025. Mendikdasmen Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed mengungkapkan, pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak, serta mewujudkan peradaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan bermutu, menurut Prof. Mu’ti, adalah prasyarat menuju bangsa yang maju dan bermartabat. Maka, untuk mencapai tujuan itu, dibutuhkan partisipasi seluruh elemen bangsa, mulai dari pemerintah, sekolah, keluarga, lingkungan masyarakat, hingga media informasi. Pendidikan bermutu mendorong terciptanya masyarakat yang maju, berilmu, dan memiliki kepedulian sosial, sehingga mampu berdampak mewujudkan peradaban yang unggul.
Sebab itulah, guru dan orang tua memegang peran penting dalam proses pendidikan karakter anak. Orang tua menjadi contoh (role model) bagi anak dalam berpikir dan bertindak. Prof. Dr. Biyanto, M.Ag., (Harian Disway, 26/3/2025) menyebutkan kedua orang tua idealnya menjadi role model keteladanan bagi buah hatinya.
Sementara guru, berperan sebagai fasilitator dan mentor bagi anak di sekolah. Di ruang kelas, guru dapat merancang pembelajaran yang mendorong kolaborasi antar siswa tanpa memandang latar belakang ekonomi atau sosial.
Proyek-proyek kelompok yang menuntut kerja sama dan saling menghargai perbedaan dapat menjadi wadah yang efektif untuk menumbuhkan rasa solidaritas. Guru juga perlu menjadi teladan dalam bersikap inklusif dan peduli terhadap isu-isu sosial yang ada di sekitar.
Maka dari itu, untuk melahirkan generasi yang memiliki karakter dan sikap kesetiakawanan sosial, kolaborasi keduanya amat diperlukan. Kerja sama antara guru sebagai pendidik di sekolah dengan orang tua sebagai pendidik di rumah amat menentukan keberhasilan mendidik karakter anak.
Di rumah, orang tua dapat menanamkan nilai-nilai kesetiakawanan melalui contoh perilaku sehari-hari, seperti berbagi dengan sesama yang membutuhkan atau terlibat dalam kegiatan sukarela di lingkungan sekitar. Diskusi keluarga tentang isu-isu sosial dengan bahasa yang sesuai dengan usia anak juga dapat meningkatkan kesadaran mereka terhadap realitas yang beragam.
Sekolah harus menjadi ruang terbuka untuk anak belajar banyak hal, seperti mengasah keterampilan, bersosialisasi, berorganisasi, dan sebagainya. Sementara, keluarga juga berperan penting dalam rangka membangun kebiasaan (habbit) positif dalam kehidupan sehari-hari anak. Kombinasi keduanya perlu memastikan anak dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik.
Syahdan, pembangunan karakter dan sikap kesetiakawanan sosial yang utuh dan tulus pada diri anak dapat mereduksi kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat. Selain itu, kita juga dapat mewujudkan masyarakat yang peduli, peka, dan memiliki rasa senasib sepenanggungan di masa yang akan datang. (*)
Penulis adalah Pegiat Literasi, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Uhamka