Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Ini memerlukan tinjauan historis, politis, sosiologis, sosioekonomi, dan kesenjangan wilayah Medan Utara-Selatan.
Sekiranya besok dan lusa atau bulan depan terjadi lagi, dan kepala kepolisian dipecat, itu akan terulang lagi selama akar masalah tidak difahami. Itu sangat pasti.
Tawuran yang berulang di kawasan Belawan, Medan Utara, memperlihatkan pola sistematis yang mengakar pada dinamika historis, politik, sosial, dan ekonomi.
Membahas masalah ini sangat tak mungkin tak menambahkan dimensi analisis spasial terkait kesenjangan antara Medan Utara dan Medan Selatan serta pengaruh pendirian institusi kepolisian dan kejaksaan yang terpisah dari pusat Kota Medan.
Pertama, Fenomena kekerasan kolektif yang terjadi berulang di Belawan, khususnya dalam bentuk tawuran antar-kelompok pemuda, tidak dapat dilepaskan dari konteks kemiskinan, disorganisasi sosial, dan marginalisasi kawasan.
Tawuran ini tampak “terjadwal”, seolah menjadi rutinitas dalam siklus konflik di Medan Utara. Untuk memahami akar masalah secara komprehensif, perlu dibedah dalam kerangka multidisipliner.
Kedua, secara hiatoris Belawan adalah kawasan pelabuhan kolonial yang sejak awal didefinisikan sebagai wilayah kerja dan bukan wilayah tinggal yang layak.
Warisan kolonialisme menciptakan ketimpangan infrastruktur, segregasi pemukiman, dan ketimpangan pelayanan publik yang masih terasa hingga kini.
Ketiga, Analisis Politik dan Kelembagaan. Pemekaran kelembagaan penegakan hukum dengan mendirikan kantor Kepolisian dan Kejaksaan Negeri khusus Belawan (terpisah dari Medan Kota) mengindikasikan pengakuan negara atas intensitas konflik di wilayah ini.
Namun, secara bersamaan, hal ini menunjukkan pendekatan yang lebih bersifat represif dibanding preventif.
Minimnya kebijakan afirmatif dan pembangunan sumber daya manusia membuat intervensi penegakan hukum berdampak jangka pendek.
Keempat, Kesenjangan Medan Utara dan Medan Selatan. Medan Selatan yang mencakup pusat pemerintahan dan ekonomi, menikmati akses infrastruktur, pendidikan, dan layanan publik yang jauh lebih baik dibanding Medan Utara.
Medan Utara, termasuk Belawan, mengalami dekonsentrasi perhatian pembangunan, ditandai dengan jalan rusak, sistem sanitasi buruk, kawasan kumuh, serta keterbatasan fasilitas pendidikan dan kesehatan.
Ketimpangan ini menumbuhkan rasa frustrasi kolektif yang menjadi energi potensial bagi kekerasan sosial. Periksa, Kecamatan Labuhan Deli itu setahu saya belum memilili SMA Negeri.
Kelima, Tinjauan Sosiologis dan Sosioekonomi. Solidaritas dalam kelompok pemuda di kawasan marjinal seringkali terbentuk dalam bentuk eksklusivitas dan sikap defensif terhadap kelompok lain.
Dalam kondisi kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, tawuran menjadi medium ekspresi sosial sekaligus “ruang eksistensi” bagi mereka yang terpinggirkan dari sistem formal ekonomi dan sosial.
Kesimpulan
Pertama. Tawuran di Belawan bukan sekadar tindakan kriminal, melainkan gejala dari krisis struktural dan spasial yang lebih luas. Ketimpangan antara Medan Utara dan Selatan, serta orientasi penanganan masalah yang lebih menitikberatkan pada aspek hukum daripada pembangunan sosial, memperparah persoalan ini.
Kedua. Masalah ini menjadi tugas utama pemerintahan Kota yang sejak dahulu abai. Kepolisian hanya ketiban limpahan masalah, karena mereka tidak berurusan dengan strategi perwujudan pembangunan berkeadilan sosial, meski bertanggung jawab dalam bidang Kamtibmas.
Ketiga. Rekomendasi yang sangat layak diajukan antara lain:
- Pemerataan pembangunan antara Medan Utara dan Selatan melalui urban renewal, infrastruktur dasar, dan akses ekonomi. Seruan kepada Walikota sangat penting diperkeras setiap saat.
- Pendekatan multisektor yang melibatkan pendidikan, budaya, dan pelatihan kerja bagi pemuda lokal. Keterlibatan pemerintahan pada level di atas, termasuk kementerian sangat mutlak.
- Evaluasi ulang orientasi institusi penegakan hukum untuk lebih menyentuh aspek preventif dan keadilan restoratif.
- Penataan ulang tata ruang yang mengintegrasikan kawasan Belawan ke dalam rencana pembangunan kota secara utuh.
Ingat, memecat pemimpin penegak hukum di Belawan memang seolah benar, tetapi itu sebuah kesalahan besar. (*)
Penulis adalah Sosiolog, Dosen FISIP UMSU