TAJDID.ID~Medan || Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr. Alpi Sahari, SH. M.Hum, mengatakan, sinergitas TNI-Polri berupa komunikasi, koordinasi dan kolaborasi harus dimaknai untuk penguatan peran negara dalam mewujudkan welfare state yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Menurutnya peran ini menitikberatkan pada kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang baik terhadap TNI dan Polri maupun pemerintah daerah, sehingga tindakan yang melampaui kewenangan atau pengambilalihan kewenangan terkesan untuk membangun opini bahwa lembaga lainnya tidak mampu dalam menjalankan kewenangannya.
Sebagai contoh, lanjut Dr Alpi, bahwa institusi Polri berdasarkan undang-undangan sebagai prime mover dibidang Kamtibmas dan Kamdagri termasuk penegakan hukum yang seharusnya institusi TNI berperan sebagai supporting dalam mewujudkan hal dimaksud. Begitu juga sebaliknya bagi institusi Polri sebagai supporting dalam bidang pertahanan dan keamanan sebagai kewenangan institusi TNI.
“Hal inilah yang seharusnya dapat ditransformasi bagi seluruh jajaran, baik TNI maupun Polri sampai dengan lini terdepan, yang bukan hanya ditampilkan oleh level pimpinan, sehingga persoalan-persoalan yang terjadi saat ini bahkan kekerasan dilakukan oleh oknum TNI dan Polri tidak terulang kembali dikemudian hari,” jelas Dr Alpi, Sabtu (29/3).
Dr Alpi menegaskan, kekerasan oleh aparat dikualifikasi sebagai extra ordinary crime, karena dilakukan oleh oknum yang telah disumpah dalam pendelegasian peran negara.
Oleh karena itu, kata Dr Alpi, transparansi dan akuntabilitas pada proses hukum terhadap oknum yang melakukan kekerasan merupakan salah satu prasyarat dalam penguatan trust masyarakat untuk mewujudkan welfare state dalam arti modern (Indonesia Emas), bukan membangun opini bahkan terkesan melindungi oknum yang melakukan extra ordinary crime.
Menurut Dr Alpi, seharusnya yang dilindungi adalah institusi negara bukan perbuatan berupa kejahatan (stafbaar handeling) yang dilakukan oknum dimaksud yang mengkhianati institusi pengabdiannya. Kejahatan yang dilakukan oleh oknum bukan merupakan tanggung jawab institusi, sehingga tidak ada alasan bagi institusi untuk mengalihkan, menyamarkan atau menyembunyikan fakta materil atas peristiwa yang terjadi.

Dr Alpi menjelaskan, hal ini sejalan dengan asas dalam hukum pidana, yakni “een menselijke gedraging die valt binnen de grenzen van delichtsomschrijving, wederectelijk is en aan schuld te wijten”. Asas ini merupakan dasar untuk merumuskan perbuatan pidana (strafbarhandeling) dan pertanggungjawaban pidana yang meletakkan pada si petindak adanya kesalahan (schuld).
Dijelaskannya, ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan yakni: Pertama, kelakuan si petindak yang memenuhi rumusan delik berkaitan dengan perbuatan pidana.
Kedua, melawan hukum dan dapat dipidana berkaitan dengan kesalahan sebagai unsur mutlak pertanggungjawaban pidana dengan berpatokan pada asas “green straf zonder schuld”.
Adapun unsur melawan hukum meliputi: Pertama, hukum tertulis atau objective recht.
Kedua, subjectief recht atau hak seseorang.
Ketiga, tanpa kekuasaan atau tanpa kewenangan.
Lebih lanjut Dr. Alpi mengemukakan bahwa untuk memahami bentuk pertanggungjawaban atas kesalahan institusi dengan pribadi berdasarkan asas “green straf zonder schuld” dapat mengkotruksi bentuk pertanggungjawaban berdasarkan prinsip strict liability dan vicorius liability, sebagaimana konsep pertanggungjawaban korporasi.
Maka menurutnya ada dua hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi. Pertama tentang perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi.
Menurut Dr. Alpi, hal yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga perbuatan korporasi maka digunakanlah “asas identifikasi”. Dengan asas tersebut maka perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi itu sendiri.
Untuk hal yang kedua, kata Dr Alpi, memang selama ini dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke dader), namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran “pelaku fungsional” (functionele dader) .
Dengan dapat membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu dalam lalu lintas menjalankan kegiatan korporasi sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan, maka kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai kesalahan korporasi. “Hal ini menunjukkan telah diterimanya korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana, sehingga telah terjadi pergeseran doktrin universitas delinquere non postest menjadi konsep pelaku fungsional,” ujar Dr Alpi.
“Untuk itu berdasarkan uraian di atas dapat ditemukan jawaban apakah peristiwa yang terjadi di Lampung merupakan pertanggungjawaban institusi atau pertanggungjawaban pribadi, karena judi sabung ayam berdasarkan fakta yang ada bukan dikelola oleh institusi sebagai alasan pembenar atau pemaaf (perintah jabatan atau perintah jabatan yang salah) atas tindakan yang dilakukan oleh oknum atas hilangnya nyawa,” pungkas Dr. Alpi. (*)