TAJDID.ID~Medan || Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (n’BASIS), Shohibul Anshor Siregar, mengatakan Piagam Madinah adalah merupakan dokumen dasar dalam sejarah masyarakat Islam. Piagam ini dirancang untuk mengatur hubungan antara para migran Muslim dari Mekkah (Muhajirun), para mualaf lokal di Madinah (Ansar), dan suku serta kelompok lain, termasuk kaum Yahudi.
“Dokumen ini (Piagam Madinah) menetapkan hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat, dan membantu menjaga perdamaian dan ketertiban dalam masyarakat yang ditandai oleh keberagaman politik dan agama,” ujar Shohibul dalam serial Diskusi Islam Berkemajuan (DIAN) yang digelar di Medan, Selasa (7/1).
Lebih lanjut dosen FISIP UMSU ini menjelaskan, bahwa di dalam Piagam Madina terkandung Komunikasi Politik Nabi yang merujuk pada bagaimana Nabi Muhammad berkomunikasi dan menegosiasikan ketentuan pemerintahan dengan berbagai kelompok, menunjukkan kebijaksanaan dalam menyeimbangkan kepentingan yang bersaing dan menjaga perdamaian.
Karena itu, Shohibul tidak sepakat jika Piagam Madina dipandang hanya sebagai dokumen yang dihasilkan dari sebuah proses “konsensus”.
“Itu pandangan dangkal dan keliru. Penggunaan istilah konsensus menyiratkan bahwa komunikasi atau kepemimpinan Nabi Muhammad SAW ditandai dengan kompromi atau mengalah pada poin-poin tertentu demi menjaga keharmonisan dan ketertiban, khususnya ketika berhadapan dengan konflik kepentingan dalam pemerintahan Madinah,” tegas Shohibul.
“Piagam Madinah sebagai Refleksi Kepemimpinan Politik Nabi yang Berakar pada Bimbingan dan Keadilan Ilahi.”
Menurut Shohibul, gagasan yang menyebut Piagam Madina sebagai sebuah “konsensus” adalah interpretasi liberal atau kontemporer atas komunikasi politik Nabi Muhammad, yang potensial mengundang masalah karena beberapa alasan.
Pertama, berpretensi mengurangi Otoritas Kenabian. Artinya, penggunaan istilah “konsensus” berpotensi meremehkan tuntunan ilahi yang menginformasikan tindakan politik Nabi Muhammad.
“Dalam iman Islam, keputusan Nabi dibuat dengan kebijaksanaan ilahi, dan tidak hanya berdasarkan tawar-menawar politik liberal atau taktis. Oleh karena itu, mereduksi komunikasi Nabi menjadi sekadar ‘konsensus’ dapat menyiratkan kurangnya prinsip atau visi yang kuat, yang bertentangan dengan pemahaman Islam tentang perannya sebagai pemimpin yang dibimbing oleh ilahi,” jelasnya.
Kedua, bias Liberal Modern. Maksudnya istilah “konsensus” mungkin juga mencerminkan perspektif liberal kontemporer, yang cenderung menekankan negosiasi dan kompromi dalam kepemimpinan politik. Namun, perspektif ini mungkin tidak sepenuhnya menghargai konteks dan sifat komunikasi politik Islam awal.
“Kepemimpinan Nabi Muhammad tidak didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi sekuler, tetapi pada wahyu ilahi dan prinsip-prinsip panduan Islam, yang mencakup prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan menjaga perdamaian, bahkan dengan mengorbankan kompromi sementara,” terangnya.
Ketiga, anakronisme historis. penggunaan istilah ‘konsensus’ sebagai ciri khas komunikasi politik Nabi berisiko memaksakan bahasa dan konsep politik modern ke dalam konteks abad ke-7. “Pada masa Nabi, keputusan politik tidak selalu dibuat berdasarkan gagasan negosiasi atau kompromi modern yang kita kaitkan dengan politik liberal,” katanya.
Menurut Shohibul, penggunaan istilah ‘konsensus’ untuk menggambarkan komunikasi politik Nabi Muhammad adalah sebuah kekeliruan yang bisa menyesatkan dengan berpikir bahwa tindakan Nabi semata-mata didasarkan pada kompromi dalam pengertian politik modern.
Pendekatan yang lebih akurat adalah dengan membingkai komunikasi Nabi sebagai sesuatu yang dipandu oleh kebijaksanaan ilahi dan ditujukan untuk mencapai keadilan, kedamaian, dan keharmonisan dalam masyarakat, daripada sekadar berfokus pada konsensus pragmatis.
Alternatif Istilah
Daripada membingkai komunikasi politik Nabi dalam istilah ‘konsensus’, menurut Shohibul akan lebih tepat jika membahas Piagam Madina dalam konteks beberapa istilah.
Pertama istilah ‘Diplomasi Strategis’, dimana kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah ditandai oleh diplomasi strategis dan pragmatisme, yang menyeimbangkan kepentingan berbagai suku dan kelompok sambil menjaga persatuan dan integritas komunitas Muslim.
“Kepemimpinannya mencakup kesabaran, pengambilan keputusan yang bijaksana, dan fokus pada tujuan jangka panjang. Shiddiq, amanah, tabligh dan fathanah,” ujarnya.
Kedua, istilah ‘Keadilan’. Artinya, keputusan-keputusan Nabi dipastikan mencerminkan prinsip-prinsip inti Islam seperti keadilan, kesetaraan, dan rasa hormat bagi semua pihak. “Pendekatan beliau (Rasulullah SAW) tidak didasarkan pada ideologi politik liberal, tetapi pada wahyu yang beliau terima dari Allah SWT,” tegasnya.
Ketiga, istilah ‘Pelestarian Kerukunan Sosial’. Walaupun Nabi berunding dan bekerja sama dengan berbagai suku dan kelompok, tujuannya bukanlah kompromi demi kompromi itu sendiri, melainkan pelestarian kerukunan sosial dan perlindungan hak dan kewajiban semua pihak dalam masyarakat Islam yang baru.
Terakhir, untuk pemahaman yang lebih mendalam tentang Piagam Madinah, implikasi politiknya, dan hakikat komunikasi politik kenabian, Shohibul merekomendasikan beberapa literatur, diantaranya:
- Al-Sa’di, Abdul-Rahman. The Constitution of Medina. A primary source that discusses the historical context and key elements of the Madinah Charter.
- Ibn Ishaq. Sirat Rasul Allah (The Life of Muhammad). One of the earliest biographical sources on the life of the Prophet, providing context to his political dealings in Medina.
- Ghazali, Al. Ihya’ Ulum al-Din (The Revival of the Religious Sciences). A comprehensive work on Islamic ethics, law, and governance that can offer insights into the principles behind the Prophet’s political decisions.
- Mawdudi, Sayyid Abul A’la. Towards Understanding Islam. While this work focuses on Islamic teachings, Mawdudi often discusses the principles of Islamic governance and how the Prophet Muhammad’s leadership was grounded in divine law, not political compromise.
- Khan, Muhammad Akram. Islamic Political System. Discusses Islamic governance and leadership with a focus on Prophet Muhammad’s strategies and the constitutional framework established in Medina.
- Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History. Provides a deeper analysis of the political and social structure of early Islam, including the Constitution of Medina. (*)