TAJDID.ID~Medan || Abdillah Sibarani, Pegiat Usaha sekaligus tokoh Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU), menyatakan penolakannya terhadap kebijakan pemerintah yang berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025. Berdasarkan data PricewaterhouseCoopers (PwC) 2024, tarif PPN di Indonesia akan menjadi salah satu yang tertinggi di ASEAN, sejajar dengan Filipina di angka 12%. Sebagai perbandingan, Singapura hanya menetapkan pajak barang dan jasa (GST) sebesar 9%, sementara Thailand bahkan menurunkan PPN dari 10% menjadi 7%.
Abdillah menilai, kebijakan ini akan memperparah beban masyarakat, terutama pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional. “Banyak pelaku usaha di Indonesia masih berjuang untuk pulih dari dampak pandemi, bahkan sebagian besar masih bergantung pada utang di bank untuk mempertahankan bisnis mereka. Kenaikan PPN ini hanya akan menambah tekanan dan menyulitkan mereka untuk bertahan,” ungkap Abdillah.
Ia juga menyoroti fakta bahwa negara-negara tetangga justru mengambil langkah untuk meringankan beban pajak bagi rakyatnya. “Thailand memilih menurunkan tarif PPN menjadi 7% untuk mendorong daya beli dan pemulihan ekonomi. Namun, Indonesia malah mengambil langkah sebaliknya dengan menaikkan tarif yang sudah tinggi. Ini akan memukul daya beli masyarakat dan menurunkan daya saing pelaku usaha kita,” tegasnya.
Menurut Abdillah, kenaikan PPN tidak hanya berdampak pada pelaku usaha, tetapi juga konsumen akhir. “Harga barang dan jasa akan meningkat, sehingga daya beli masyarakat menurun. Akibatnya, pelaku usaha kecil yang selama ini bergantung pada konsumsi domestik akan kehilangan pasar. Situasi ini sangat berbahaya bagi stabilitas ekonomi,” jelasnya.
Ia menambahkan, banyak pelaku usaha mikro dan kecil saat ini harus membayar angsuran utang bank di tengah tekanan ekonomi yang belum stabil. “Jika pemerintah tetap memaksakan kenaikan ini, risiko kebangkrutan di sektor usaha kecil dan menengah akan meningkat. Padahal, UMKM adalah penopang ekonomi Indonesia,” lanjut Abdillah.
Abdillah menyerukan agar Pemerintah melalui Kementrian Keuangan segera membatalkan rencana kenaikan PPN 12% dan mempertimbangkan kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat dan pelaku usaha. Ia juga mengusulkan agar tarif PPN dikembalikan ke 10% seperti sebelumnya.
“Kebijakan fiskal haruslah mendukung pemulihan ekonomi, bukan memperberat beban masyarakat. Pemerintah seharusnya lebih bijak, belajar dari negara tetangga seperti Thailand, yang menurunkan tarif pajak untuk memacu konsumsi dan memperkuat ekonomi domestik,” tutupnya.
Seruan Abdillah ini menjadi refleksi penting bahwa kebijakan kenaikan PPN akan berdampak luas, bukan hanya pada pelaku usaha yang masih bergantung pada utang, tetapi juga pada masyarakat yang daya belinya semakin tergerus. Pemerintah diharapkan lebih peka dan mengutamakan kesejahteraan rakyat di atas target peningkatan penerimaan negara. (*)