Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Jika Anda tidak golput pada Pemilu 2024, maka Anda akan ingat bahwa salah seorang dari 3 pasangan calon yang namanya tercantum pada kertas suara itu bergelar akademik doktor dengan jabatan akademik Profesor. Beliau adalah Prof Dr HM Mahfud MD. Tidak ada keributan nasional tentang itu.
Dengan fakta hukum itu, dalam kasus Prof. Dr. dr. Ridha Dharmajaya, Sp.BS, yang mencalonkan diri untuk Walikota Medan 2024, meskipun narasi regulasi secara eksplisit mencantumkan kewajiban mengundurkan diri (bagi calon kepala daerah yang menyandang status sebagai Aparatur Sipil Negara atau ASN seperti dirinya), menurut saya mestinya KPU dan Bawaslu Kota Medan tidak terlalu kaku. Biarkan saja. Dengan atau tanpa dipermasalahkan, calon ini akan tetap diakui sebagai profesor baik di dalam maupun di luar kampus, sampai kapan pun.
Bahkan saya mungkin tak salah jika menduga, bahwa dalam praktikalitas komunikasi dan interaksi informal antara calon ini dengan orang-orang yang termasuk penyelenggara, sapaan “Pak Prof” dapat meluncur otomatis sebagai keniscayaan moral belaka. Itu bagian dari respek yang memang masuk akal meluncur dari setiap orang yang pernah mengecam pendidikan tinggi. Saya beranggapan bahwa baik KPU maupun Bawaslu sama sekali tidak pernah merasa bahwa Prof. Dr. dr. Ridha Dharmajaya, Sp.BS akan beroleh poltical advantage yang melawan substansi integritas pemilu jika jabatan akademiknya itu dicantumkan dalam kertas suara.

Meski di Indonesia gelar Profesor adalah jabatan fungsional, bukan gelar akademis, sebagaimana dinyatakan oleh UUNomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 1 Butir 3), awalnya profesor (dari bahasa Latin yang bermakna “seseorang yang dikenal oleh publik berprofesi sebagai pakar”; bahasa Inggris: Professor).
Semangat UU Nomor 14 Tahun 2005 itu amat terkesan lebih pada maksud penataan jenjang jabatan dalam kaitannya yang lebih terkait dengan hak-hak keperdataan yang terhubung dengan pembelanjaan Negara (APBN). UU ini jelas sekali secara sempit membatasi dirinya untuk berimajinasi tentang living reality bahwa profesor itu tak selamanya harus dibelanjai oleh APBN dan sekaligus tak lantas harus diadopsi dalam ketentuan rekrutmen kepala daerah. Di situlah letak kekeliruannya.Selain itu orang Indonesia harusnya faham investasi besar (immaterial dan material) untuk menjadi profesor yang faktanya hingga kini jumlahnya hanya sedikit. Negara mestinya merasa rugi besar memiliki regulasi seperti itu.

Legal frame-work pemilu yang bagus dan ideal mestinya berbasis wawasan luas dan ramah atas promosi anti diskriminasi. Bahwa jika pun setelah pilkada tanggal 27 Nopember 2024 orang seperti Prof.Dr.dr.Ridha Dharmajaya, Sp.BS, menjadi Walikota Medan, secara moral kewajibannya sebagai pakar tidak akan pernah menipis sama sekali.
Siapa yang memiliki keberanian naif melarang seorang Presiden, Menteri, Direktur Utama BUMN, Gubernur, Bupati dan Walikota tak akan henti-henti menjalankan panggilan moralnya sebagai profesor dengan pengabdian di luar ranah eksekutifnya?
Dari kasus ini saya juga tergoda untuk mengevaluasi proses rekrutmen calon kepala daerah yang mewajibkan seseorang berstatus ASN untuk berhenti dan dikunci mati dengan diksi “surat pernyataan pengunduran diri sebagai aparatur sipil negara yang tidak dapat ditarik kembali”. Regulasi ini memerangkap Indonesia dalam persempitan harapan beroleh pemimpin dengan sumberdaya yang lebih besar dan ideal. Ini masalah besar demokrasi Indonesia.
Karena itu saya sarankan kedua penyelenggara pemilu level Kota Medan itu berkonsultasi dengan KPU dan Bawaslu (Nasional). Saya yakin kita semua di daerah ini dapat samasama berusaha memperlunak urusan seperti ini tak menyumbang untuk ketegangan iklim kompetisi yang mestinya kita songsong dengan penuh kegembiraan sebagaimana pesan lagu pemilu zaman Orde Lama (Pemilihan Umum telah memanggil kita. Seluruh rakyat menyambut gembira).
Seiring dengan itu kepada Prof. Dr. dr. Ridha Dharmajaya, Sp.BS saya sarankan untuk juga menempuh upaya hukum. (*)
✒️ Shohibul Anshor Siregar. Dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS). Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Sumatera Utara. Sekretaris Yayasan Advokasi Hak Konsstitusional Indonesia (YAKIN).