Harun Joko Prayitno, selaku Wakil Rektor I UMS dan mewakili Rektor menyampaikan bahwa materi Pancasila yang dahulu menjadi momok yang hanya berkutat pada hafalan harus dirubah menjadi amalan. Nilai Pancasila perlu secara terus menerus dibumikan dalam bentuk perilaku di berbagai kalangan, khususnya generasi muda. UMS dalam hal ini telah memberikan konsep baru yakni Pancasila sebagai Laku.
“Pancasila bukan hanya be Hafalan tapi be amalan, Pancasila harus menjadi laku bukan hanya sebagai hafalan.” Ujarnya.
Harun Joko menambahkan bahwa ide atau gagasan program Pancasila sebagai Laku merupakan sebuah invensi baru. Bila berkaca pada empat pilar UNESCO, selama ini Pancasila masih pada tataran “ learning to know” saja, tapi dalam program ini Pancasila sudah berhasil mencapai pada tataran “learning to do”. Kedepannya, Harun berharap program ini dapat diterjemahkan dalam sebuah program dengan menaikkan level menjadi “learning to be” hingga “learning to live together”.
Acara kemudian dibuka oleh Andi Bayu Bawono, selaku perwakilan Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah. Dirinya turut menambahkan bahwa program ini berasal dari berbagai keresahan salah satunya degradasi moral yang terjadi di lingkup masyarakat.
Pada sesi orientasi program, Mohammad Thoyibi mengungkapkan hasil penelitian PSBPS menunjukkan bahwa materi pembelajaran Pendidikan Pancasila masih dianggap tekstual, metode pengajaran dosen monoton, dan capaian pembelajaran terbatas pada kognisi tanpa mengakomodasi aspek afeksi .
“Dengan pelatihan ini, diharapkan metode pembelajaran dapat menjadi lebih interaktif, kritis-reflektif, dan andragogis dalam penerapannya,” ujar Thoyibi.
Thoyibi juga menekankan pentingnya standardisasi dosen pengajar Pancasila untuk pengembangan profesionalisme sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan oleh DIKTI dan amanat UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dosen diharapkan mampu merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil belajar, membimbing, melatih, serta melakukan penelitian. Selain itu, mereka juga diharapkan melaksanakan tugas tambahan dan pengabdian kepada masyarakat.
Abdillah selaku salah satu peserta yang berasal dari Universitas Negeri Semarang mengungkapkan bahwa dirinya cukup senang dengan agenda seperti ini. Dirinya mengaku sebagai dosen dirinya masih kurang terkait masalah Pancasila. Dirinya juga bercerita bahwa sekitar 2 tahun kebelakang dirinya diamanahi untuk mengajar Pancasila, padahal dirinya memiliki latar belakang pendidikan formal yang berbeda.
“Ya saya merasa butuh ilmu lagi, dan harapannya kegiatan seperti ini terus berlanjut.” tambahnya.
Ditemui terpisah, Pinem, peserta dari Badan Riset dan Inovasi Nasional menegaskan bahwa “nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang luhur, seharusnya menjadi pijakan kita. Tetapi sebaliknya, Pancasila secara tidak kita sadari, semakin jauh dari perilaku kita. Mirisnya lagi, Pancasila semakin teranak tirikan dalam berbangsa dan bernegara”.
Lebih lanjut, Pinem menyatakan bahwa saat ini kehidupan yang semakin pragmatis, kapitalis dan liberalis semakin menjauhkan kita dari nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, 30 tahun perjalanan reformasi yang semakin keluar dari jangkar peradaban dan keadaban. Sudah selayaknya Pancasila bisa menjadi tenda dalam berbangsa dan bernegara dalam menangkis semua ideologi yang datang dari luar dan menjauhkan kita dari akar-akar kemanusiaan yang majemuk dan multikultural.
Pinem berharap bahwa selain pembelajaran Pancasila yang menarik dengan sistem pembelajaran aktif, tetapi Pancasila juga dapat dijadikan sebagai penggerak masyarakat untuk menjadikan nilai-nilainya bukan sekedar kata-kata, tetapi juga laku. Sehingga, antara kata dan laku betul-betul menjadi harapan kita semua dan aksi nyata di tengah kehidupan kita semua. Pelatihan ini juga diharapkan bisa menjadi resonansi ke seluruh kampus dan sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. (*)