Setiap pembentukan kolaborasi selalu membutuhkan sejumlah langkah/tahap-tahap umum yang digunakan untuk penyelesaian pekerjaan. Choirul Saleh dan Imam Hanafi (2020) mengatakan bahwa hal-hal yang perlu dibahas pada aspek ini, yaitu:
- Pengidentifikasian terhadap kelompok yang terlibat dan yang dianggap layak untuk dilibatkan melakukan kerja sama secara kolaboratif;
- Penetapan bidang-bidang yang akan dikolaborasikan, serta penetapan dampak yang diharapkan dapat diraih oleh para kolaborator;
- Penetapan bentuk struktur lembaga kolaborasi, termasuk di dalamnya membahas pola/model kepemimpinan, pola tanggung jawab, pembagian peran, sistem kepemilikan, proses komunikasi, pola pengambilan keputusan, akses untuk mendapatkan sumber daya, schedule atau jadwal kerja, serta kejadian-kejadian penting lainnya;
- Menetapkan pola-pola kebijakan (misalnya cara menangani terjadinya konflik atau ketidaksepahaman yang mungkin muncul antar kolaborator, pola-pola pertanggung-jawaban atau akuntabilitasnya, pemberian reward dan penghargaan, pola-pola pengadaan aset, serta kepemilikannya);
- Penetapan model dan mekanisme, serta proses evaluasi dan pola pengukuran dan penilaian terkait kinerja kolaborasi ataupun kinerja masing-masing kolaborator dalam menjalankan peran berkolaborasi;
- Pengidentifikasian tentang perencanaan dan tanggung jawab atas terjadinya risiko, serta penetapan indikatornya; dan
- Penetapan komitmen yang kuat antar kolaborator yang berkolaborasi terkait tujuan yang diharapkan.
Harus diakui bahwa kolaborasi merupakan pola hubungan yang rumit dan kompleks dengan berbagai konsekuensi yang timbul, baik yang bersifat materil maupun yang bersifat immateril. Oleh sebab itu, agar kolaborasi yang dibentuk dapat diselenggarakan secara optimal dan dapat berhasil dengan baik, maka ego sektoral dari masing-masing lembaga penegak hukum harus dihilangkan, karena dari beberapa hasil kajian, diidentikasikan bahwa ego sektoral merupakan salah satu faktor kelemahan pengimplementasian kolaborasi.
Ego sektoral muncul akibat adanya perbedaan kepentingan masing-masing institusi (lembaga penegak hukum), sehingga dapatsaja menyebabkan kebuntuan dalam upaya pengungkapan kasus-kasus tindak pidana, termasuk pula tindak pidana korupsi.
Terkait dengan munculnya ego sektoral dari masing-masing lembaga penegak hukum, maka perlu dibangun komitmen yang berhubungan dengan hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab antar lembaga penegak hukumyang berkolaborasi dalam upaya pengungkapan tindak pidana korupsi tersebut. Termasuk pula aspek yang berkaitan dengan penyelenggaraan tugas-tugas rutin maupun dalam penanggulangan problem atau permasalahan yang muncul, karena dalam berkolaborasi, biasanya ada kelemahan terkait dengan rasa tanggung jawab dari salah satu pihak kolaborator untuk menghadapi situasi tertentu.
Oleh sebab itu, distribution of responsibility bagi masing-masing pihak yang terlibat harus diatur dan dideskripsikan secara jelas pada awal pembentukan kolaborasi, sebab keberhasilan suatu kolaborasi sangat tergantung pada pembagian tanggung jawab, serta kepatuhan dari masing-masing lembaga penegak hukumyang terlibat dalam menjalankan wewenang dan tanggungjawabnya. (*)
Penulis adalah Wakil Ketua Bidang Kaderisasi dan Pengelola Kader PD II KB FKPPI Sumatera Utara dan Dosen pada Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).