Oleh: Dr Tengku Erwinsyahbana SH MHum
Dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP dijelaskan bahwa penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, dan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) KUHAP, disebutkan bahwa penyidik terdiri dari Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Penyidik POLRI) dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil (Penyidik PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Sedangkan pada Pasal 1 angka 11 UU POLRI, disebutkan bahwa Penyidik PPNS adalah pejabat pegawai negerisipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undanganditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untukmelakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkupundang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka dalam hal terjadinya tindak pidana, wewenang untuk melaksanakan penyidikan, tidak hanya berada pada institusi POLRI, tetapi dapat pula dilaksanakan oleh Penyidik PPNS di luar institusi POLRI, antara lain oleh Kejaksaan Republik Indonesia, karena dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan ditentukan bahwa di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenangmelakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
Jenis tindak pidana yang sering terjadi belakangan ini, antara lain adalah tindak pidana korupsi, tetapi di dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak ada diatur secara tegas tentang kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan tindak pidana ini, selain hanya ketentuan yang terdapat pada Pasal 27, yang menentukan bahwa dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Pertanyaan yang muncul adalah: “apakah Jaksa mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi?” Jawaban atas pertanyaan ini masih terdapat kesimpangsiuran pendapat dari kalangan ahli hukum.
Ada ahli hukum yang berpendapat bahwa pada dasarnya Jaksa hanya mempunyai kewenangan untuk melakukan penuntutan, dengan kata lain bahwa Jaksa tidak berwenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, karena kewenangan ini berada pada Penyidik POLRI dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan apabila memperhatikan ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan,maka Kejaksaan mempunyai wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, tetapi tindak pidana tertentu tidak sama dengan tindak pidana khusus, sedangkan tindak pidana korupsi termasuk dalam jenis tindak pidana khusus (tidak termasuk sebagai jenis tindak pidana tertentu).
Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Jaksa mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, karena dalam praktik-praktik umum di dunia internasional, Jaksa juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Dapat diambil contoh sebagai perbandingan adalah kewenangan Kejaksaan di Amerika Serikat, bahwa Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
Demikian pula di Jepang, Jerman, dan beberapa negara lain, bahkan berdasarkan KUHAP Romania dan Republik Rakyat China (RRC), ditentukan bahwa penyidikan tindak pidana korupsi merupakan kewenangan Jaksa. (Bersambung ke hal 2)