Dalam perspektif sistem peradilan pidana terpadu dan kebutuhan praktik penegakan hukum pada masa sekarang, sudah semestinya perbedaan pendapat atau dikotomi tentang kewenangan Jaksa untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi segera dihilangkan, karena pemisahan kewenangan Kejaksaan untuk melaksanakan penyidikan dan/atau penuntutan dapat dikatakan kurang tepat,berhubung penyidikan merupakan bagian dari proses penuntutan yang didasarkan pada konsep umum sistem peradilan pidana terpadu.
Hal terpenting (urgen) yang sebenarnya perlu diperhatikan adalah kolaborasi antar lembaga penegak hukum yang berwenang untuk melaksanakan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi itu sendiri, karena tindak pidana korupsi dapat dikualifikasi sebagai kejahatan luar biasa yang membutuhkan penegakan hukum dengan cara luar biasa pula.
Kolaborasi secara sederhana dapat diartikan sebagai kerja sama untuk mencapai tujuan yang sama, dan setiap lembaga penegak hukum yang terlibat dalam suatu kolaborasi, harus saling membantu satu dengan lainnya, guna memecahkan permasalahan yang terjadi atau sedang terjadi. Dalam kolaborasi terdapat adanya kebersamaan atau kerja sama, berbagi tugas dan tanggung jawab, serta adanya hubungan antar lembaga penegak hukum (dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan) yang saling ikut serta dan saling menyepakati untuk mencapai tujuan, melalui pembagian informasi dan sumber daya, guna menyelesaikan beragam permasalahan yang terjadi pada penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Perlu juga untuk dipahami bahwa pengertian kolaborasi tidak sama dengan pengertian kerjasama pada umumnya, karena kolaborasi merupakan aktivitas kerjasama dalam usaha untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan melalui pembagian tugas atau pekerjaan, tidak sebagai pengkotakan kerja, tetapi sebagai satu kesatuan kerja, yang terarah guna pencapaian tujuan.
Istilah kolaborasi digunakan untuk menjelaskan proses penyelesaian pekerjaan yang bersifat lintas batas, lintas sektor, lintas hubungan ataupun lintas organisasi, bahkan lintas negara, sehingga kolaborasi mengandung makna yang lebih luas dan mendeskripsikan adanya situasi tentang terjadinya kerja sama antara dua institusi (lembaga penegak hukum) yang saling memahami permasalahan masing-masing secara bersama-sama dan berusaha untuk saling membantu memecahkan permasalahan masing-masing secara bersama-sama pula. Bahkan secara lebih spesifik, kolaborasi merupakan kerja sama yang intensif untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi kedua belah pihak secara bersamaan.
Beberapa pertimbangan yang biasanya menjadi alasan kolaborasi yang perlu dibentuk menurut Choirul Saleh dan Imam Hanafi (2020), yaitu:adanya kesamaan tujuan atau kepentingan;peningkatan kemampuan; efisiensi penggunaan sumber daya (meliputi sumber daya manusia, finansial, dan material); serta sharing pengetahuan, pengalaman, kompetensi, dan sebagainya.
Asumsi dasar tentang perlunya pembentukan kolaborasi ini karena tiada seorang atau satu organisasi pun yang mampu memenuhi kebutuhan atau cita-cita besarnya dengan cara mudah, cepat, dan ringan, serta murah tanpa kerja sama dengan pihak lain, walaupun tidak semua jenis interaksi atau kerja sama bernuansa kolaborasi. Kolaborasi itu dapat terjadi ketika kedua belah pihak atau lebih yang berinteraksi (baik secara personal maupun organisasional) itu dapat saling memenuhi kebutuhan dan saling memberikan manfaat, serta keuntungan yang adil sebagaimana yang diharapkan.
Penggagas yang membentuk kolaborasi hendaknya dapat terlebih dahulu menetapkan charter atau maklumat sebagai aspek unggulan atas kolaborasi yang dibentuknya. Penetapan maklumat yang semacam ini sangat disarankan untuk dideskripsikan secara jelas, sederhana, dan mudah dipahami oleh banyak pihak. Berdasarkan maklumat inilah, yang kemudian digunakan untuk mendeskripsikan seperangkat tujuan yang ingin dicapai dan digunakan dalam penyusunan pola hubungan kerja antar anggota. Bahkan dalam hal tertentu, maklumat tersebut juga dapat diposisikan sebagai by laws yang dapat dijadikan sebagai pedoman umum bagi para pimpinan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Dalam pelaksanaan kolaborasi diperlukan adanya koordinasi, karena koordinasi dapat membantu mengoptimalkan hasil kerja dengan cara mendapatkan keseimbangan dan menyatupadukan kegiatan bagian-bagian yang penting,menunjukkan pastisipasi kelompok dalam tahap awal perencanaan, serta mendapatkan penerimaan tujuan kelompok dari setiap anggota.
Menurut Inu Kencana (2011), dikatakan bahwa bentuk koordinasi dapat dilaksanakan dengan koordinasi horizontal, yaitu penyelerasan kerjasama secara harmonis dan sinkron antar lembaga yang sederajat; koordinasi vertikal,yaitu penyelerasan kerjasama secara harmonis dan sinkron dari lembaga yang lebih tinggi kepada lembaga-lembaga lain yang derajatnya lebih rendah; serta koordinasi fungsional,yaitu penyelarasan kerjasama secara harmonis dan sinkron antar lembaga-lembaga yang memiliki kesamaan dalam fungsi pekerjaan.
Hakikat koordinasi ini sendiri merupakan perwujudan dari kolaborasi, untuk saling bantu membantu dan menghargai/menghayati tugas dan fungsi, serta tanggung jawab masing-masing,berhubung setiap satuan kerja (unit) dalam melakukan kegiatannya, sangat tergantung pada bantuan dari satuan kerja (unit) lain, sehinggadapat dikatakan bahwa adanya saling ketergantungan atau interdependensi inilah yang mendorong diperlukan adanya kolaborasi. (Bersambung ke hal 3)