Penulis menggunakan model teoritis untuk menganalisis situasi yang di dalamnya pemerintah otoriter terus mencoba memperoleh informasi tentang preferensi pemilih untuk mempertahankan legitimasi dan pemegang kekuasaan. Dalam sistem otoriter satu partai, tidak ada partai oposisi yang kuat atau independen yang dapat mengumpulkan dan mengkomunikasikan preferensi pemilih.
Dalam konteks ini, penulis menyoroti pentingnya informasi yang akurat dalam pengambilan keputusan politik yang efektif. Mereka mengidentifikasi tiga strategi yang mungkin digunakan oleh rezim otoriter untuk mengatasi dilema ini.
Pertama, Informasi resmi. Penulis mengemukakan bahwa pemerintahan otoriter dapat mencoba mengumpulkan informasi melalui survei resmi atau mekanisme lainnya yang dikendalikan oleh rezim. Namun, mereka mengakui bahwa informasi semacam itu tidak akurat atau bias karena pemilih tidak merasa bebas untuk mengungkapkan preferensi mereka.
Kedua, Informasi tak resmi. Rezim otoriter akan selalu mencoba mengumpulkan informasi melalui jaringan informan atau melalui intelijen politik yang dipengaruhi oleh rezim. Namun, informasi semacam itu juga bias dan tidak mewakili preferensi sebenarnya dari pemilih.
Ketiga, Keputusan berdasarkan keyakinan dan spekulasi: Dalam beberapa kasus, rezim otoriter memilih untuk membuat keputusan politik berdasarkan keyakinan atau spekulasi tanpa mengandalkan informasi yang akurat tentang preferensi pemilih. Namun, strategi ini dapat meningkatkan risiko kesalahan dan mengurangi legitimasi rezim.
Penulis menggarisbawahi bahwa dilema ini menunjukkan kelemahan struktural dalam sistem otoriter satu partai, informasi akurat dan representatif sulit didapatkan. Mereka menyarankan bahwa adanya oposisi yang kuat dan independen dapat membantu mengatasi dilema ini dengan menyediakan alternatif dalam mengumpulkan dan menyampaikan preferensi pemilih.
Dilema inilah yang dulu terjadi pada era Soekaarno dan Soeharto yang untuk kenyamanan rezim taruhannya persengketaan di antara warga negara harus ditingkatkan dan proyek sekuritisasi yang meluas untuk alasan keamanan sangat subur.
Fenomena yang diangankan oleh Habiburokhman dipotret begitu baik dan cermat dalam “Democracy’s Third Wave” yang ditulis Samuel P Huntington (1991). Ada aktor pembajak demokrasi yang mengkapitalisasi berbagai instrumen yang diklaim demokratis justru untuk merontokkan demokrasi itu sendiri.
Joko Widodo ingin dirinya menjadi penguasa abadi di Indonesia yang mula-mula atas alasan covid 19 ingin beroleh persetujuan politik untuk memperpanjang masa jabatan. DPR menginginkan insentif anti demokrasi berbalut procedural democracy itu juga mereka nikmati. Jika tak dilawan oleh rakyat, Joko Widodo, para Menteri dan semua anggota legislatif akan beroleh perpanjangan masa jabatan tanpa pemilu.
Kegagalan itu dialihkan ke wacana lain, Joko Widodo bermaksud maju pilpres sebagai wakil bagi Prabowo Subianto. Konstitusi menganggap itu tak dimungkinkan, karena batasan menjabat selama dua periode akan menghambat jalan keluar konstitusional sekiranya Joko Widodo yang mantan presiden dua periode akan otomatis menggantikan Presiden yang berhalangan tetap.
Seterusnya skenario pengajuan Gibran Rakabuming Raka menjadi jalan terakhir dan itulah yang sedang dipersengketakan secara nasional saat ini. Orang menganggap Gibran Rakabuming Raka sebagai “anak haram konstitusi” dan dalam sidang PHPU Pilpres di MK paslon 01 dan 03 sama-sama mengajukan petitum melakukan pemungutan suara ulang dengan terlebih dahulu mendiskualifikasi Gibran Rakabuming Raka.