TAJDID.ID~Medan || Pemerhati sosial politik, Shohibul Anshor Siregar menanggapi fenomena aksi protes sivitas akademika dari sejumlah universitas di Tanah Air terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, aksi itu penting, namun sudah sangat terlambat.
“Meskipun sangat penting, namun saya menilainya sebagai sebuah gerakan yang sangat terlambat. Ibarat makan siang yang jadwal semestinya adalah ba’da zuhur, tetapi nasi ransum baru dapat tiba menjelang waktu ashar,” ujar Dosen FISIP UMSU ini, Rabu (7/2).
“Tidak sehebat ini protes ketika sejumlah besar petugas pemilu meninggal dengan alasan kelelahan. Padahal itu juga hambatan besar integritas demokrasi,” imbuhnya.
Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumatera Utara ini menyayangkan, apa yang diprotes oleh kampus-kampus tidak muncul saat Joko Widodo ingin menjadi Presiden tiga periode, tidak muncul saat gagal memperpanjang masa jabatan dengan dalih bencana Covid-19, tidak muncul saat berhasil meletakkan dasar-dasar politik dinasti di Solo dan di Medan, tidak muncul saat ia berhasil merevisi UU KPK, tidak muncul saat ia berhasil mengudangkan Omnibuslaw, tidak muncul saat gagal menjadi cawapres untuk Prabowo Subianto, tidak muncul saat Mahkamah Konstitusi berhasil membuat norma baru pemilu (syarat calon presiden/wakil), tidak muncul saat ia berhasil mengorbitkan Kaesang menjadi Ketum Partai, tidak muncul saat ia meninggalkan PDIP untuk kepentingan Pilpres 2024 dengan cawe-cawe dan indikasi kuat kepemihakannya.
“Suara perguruan tinggi itu memang sangat penting, tetapi banyak yang seharusnya mereka koreksi jauh-jauh hari sebelumnya, kini sudah menjadi bagian dari budaya politik dan demokrasi Indonesia, termasuk mekenisme check and balances yang menjelaskan ketakberfungsian Lembaga pengawasan politik, menurunnya indeks demokrasi, sulitnya mencari pekerjaan, semakin riskannya berkebebasan berpendapat dan lain-lain,” tegas Shohibul.
“Kita bisa membandingkan, misalnya, dengan serangkaian unjuk rasa mahasiswa sekitar 7 tahun tahun lalu yang menuntut “luruskan kiblat bangsa”, protes atas kekecewaan melihat watak lips service dan lain-lain,” tambahnya.
Shohibul mensinyalir, kampus di Indonesia kini mungkin memang sedang bermasalah besar juga barangkali sehingga tak merasa terpanggil mengoreksi segala bentuk penyimpangan yang hari ini mereka protes secara keras.
Meski pun begitu, menurut Shohibul, ada cara untuk “membayar utang” atau kealpaan sekian lama. Kampus mestinya tidak cukup sekedar buat perhelatan di kampusnya dan membacakan pernyataan.
“Mereka dapat pergi berdelegasi ke istana dan ke DPR,” pungkasnya. (*)