Oleh: Mujahiddin
Dosen FISIP UMSU
Jika kita mempelajari Mitologi Yunani, kata “Medusa” dikonsepsikan sebagai bentuk penjaga atau pelindung. Hal ini berkaitan dengan makhluk Mitologi Yunani yang bernama Medusa. Ia adalah perempuan cantik yang menjadi pendeta di Kuil milik Dewi Athena. Kecantikannya membuat Poseidon (Dewa Penguasa Laut dan Danau) tertarik padanya. Pada satu waktu, ketika Medusa mandi dipinggiran laut yang berada dekat Kuil Athena, ia bertemu dengan Poseidon. Medusa tau jika Poseidon ingin memperkosannya, ia lari ke dalam Kuil Athena untuk mencari pertolongan dan Poseidon mengejar.
Malang, Medusa akhirnya berhasil diperkosa oleh Poseidon di dalam kuil. Mendengar adanya tragedi tersebut di dalam kuilnya, Dewi Athena marah. Namun kemarahan tersebut tidak ditujukan pada Poseidon tetapi kepada Medusa yang sebenarnya menjadi korban kebengisan Poseidon. Dewi Athena mengutuk Medusa dengan mengubah rambut Medusa menjadi Ular dan siapa saja yang melihat mata Medusa akan berubah menjadi batu. Kutukan ini membuat Medusa menjadi terasing, tak ada satupun orang yang berani menatapnya.
Seiring berjalannya waktu, kutukan yang diberikan kepada Medusa menjadikan kepalanya begitu berharga karena dianggap dapat menjadi senjata yang mematikan bagi banyak orang. Raja Polidektes tertarik akan hal ini dan mengirim Perseus untuk memenggal kepala Medusa. Misi pembunuhan ini kemudian berjalan dan didukung oleh Dewi Athena, Hades, Hephaestus, Hermes. Mereka memberikan Perseus senjata istimewa mulai dari sandal bersayap, helm gaib, pedang dan perisai cermin. Dengan menggunakan peralatan ini, Perseus berhasil membunuh Medusa. Perisai cermin digunakan untuk melihat banyangan Medusa dan seketika Medusa lewat, kepalanya langsung ditebas oleh Perseus dengan pedang.
Benar, kepala Medusa memang menjadi senjata yang ampuh untuk menaklukan musuh. Perseus tau akan hal ini dan ia menggunakannya untuk menaklukan Phineus, Atlas dan bahkan Raja Polidektes itu sendiri. Hingga pada akhirnya, kepala Medusa diberikan oleh Perseus kepada Dewi Athena untuk ditempatkan pada perisainya atau biasa disebut Tameng Aigis.
WID, WAD and GAD
Kisah Medusa di atas memberikan banyak tafsir atas kehidupan seorang perempuan baik yang berkait dengan hubungan kekuasaan politik, maupun yang berkaitan dengan diskriminasi sosial. Dalam banyak karya sastra klasik dan seni, Medusa sering disimbolkan sebagai bentuk gerakan perlawanan terhadap segala bentuk kekerasan seksual dan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan.
Kisah Medusa tersebut juga menjadi gambaran atas pandangan filsafat barat yang selalu memposisikan perempuan sebagai subordinat, inferior dan terbelakang di dalam proses relasi sosial; perempuan selalu menjadi korban, disalahkan dan didiskriminasikan.
Stigma ini mendorong terjadinya gerakan-gerakan yang menuntut adanya bentuk keadilan dan kesetaraan terhadap perempuan khususnya dalam proses pembangunan seperti Women in Development (WID), Women and Development (WAD) dan Gender and Development. Ketiga gerakan ini memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam memposisikan perempuan pada wilayah pembangunan. WID memposisikan pentingnya produktifitas perempuan di dalam sektor ketenagakerjaan dengan menyusun program-program yang dapat mengurangi atau menghapuskan diskriminasi yang dialami oleh para perempuan di sektor produksi. Prinsip ini mendorong perempuan untuk lebih aktif masuk ke wilayah publik dan menciptakan peningkatan pendapatan ekonomi yang lebih baik bagi perempuan.
Sedang WAD berpandangan bawah perempuan seharusnya tidak lagi dijadikan sebagai “penerima manfaat” yang pasif dari pembangunan tetapi mereka harus menjadi bagian integral dari pembangunan itu sendiri yang aktif menyuarakan berbagai program dan kepentingan-kepentingan mereka. Pandangan ini tidak lagi melihat perempuan pada konteks produksi mereka tetapi lebih kepada partisipasi mereka dalam kebijakan dan pembangunan. Itu sebabnya, dalam pandangan WAD perempuan bekerja yang dibayar ataupun tidak dibayar sama pentingnya di dalam proses pembangunan. Secara tegas, WAD ingin melawan budaya patriarki dan kapitalisme yang selalu berupaya menyisihkan perempuan bahkan untuk menyuarakan kepentingannya sendiri.
Baca tulisan karya Mujahiddin lainnya:
- Jebakan Teknologi dan Jalan Reputasi Akademik
- Buya Hamka dan Moral Intelektual
- Mendekati Hari Ketiga Puluh
- Klaim Reputasi
- Media Massa, Ilmuan Sosial dan Diskursus Lokal
Terakhir adalah pandangan dari GAD yang menyatakan problem dari penindasan terhadap perempuan tidak hanya berada pada sektor reproduksi (domestik) tetapi juga pada bidang produktif (publik). Untuk mengatasi hal ini, GAD percaya harus adanya keterlibatan negara dalam menunjuang emansipasi perempuan; di mana negera bertugas untuk menyediakan jasa sosial yang selama ini disediakan oleh perempuan secara individual seperti penyediaan perawatan (kesehatan) dan masa depan bagi anak-anak. Melalui pandangan ini, GAD memposisikan sikap yang jelas terkait pentingnya posisi perempuan sebagai agen perubahan sosial; ia tidak hanya dianggap sebagai penerima bantuan pembangunan yang pasif, tetapi ia juga harus dilibatkan dalam penyelesaian masalah-masalah pembangunan (baca; yang sehari-hari berdampak langsung pada kehidupannya dan juga keluarganya).
Pelibatan mereka dapat dilakukan dengan berbagai metode yang demokratif, bukan sekedar penyuluhan-penyuluhan yang bersifat top down. Oleh karenanya dibutuhkan pembentukan solidaritas perempuan yang terorganisir, agar transpormasi sosial yang berkeadilan bagi kelompok perempuan, anak dan bahkan laki-laki dapat terwujud. Sebab dalam strategi GAD, letak persoalan bukan pada kelompok perempuan (secara tipologi biologis) tetapi pada bagaimana menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan.
Posisi Strategis dan Kendala
Saat ini posisi perempuan dalam dinamika politik-kekuasaan di Indonesia sangatlah strategis, khususnya dalam aspek elektoral dan gerakan-gerakan penggalangan suara. Jumlah pemilih perempuan pada Pemilu 2024 sebanyak 102.588.719 suara, lebih banyak jika dibandingkan jumlah pemilih laki-laki yang berjumlah 102.218.503 suara. Selain itu, pada tingkat legislatif kelompok perempuan juga memiliki Kaukus Perempuan yang biasa menjadi media/alat perjuangan dalam mendorong isu dan kepentingan-kepentingan perempuan dalam pembangunan.
Pada gerakan-gerakan penggalangan suara dan mobilisasi masa, biasanya kelompok perempuan lebih progresif. Gerakan politik “emak-emak” pada Pilpers 2019 lalu tentu masih segar dalam ingatan kita dan menjadi tanda bagaimana “emak-emak” aktif dalam penggalangan dana yang mencapai jutaan rupiah di setiap titik kampaye. Memang kelompok perempuan dianggap memiliki basis gerakan yang riil, lebih terogranisir dengan berbagai kegiatan yang sifatnya formal maupun informal seperti kelompok pengajian/perwiritan, kelompok arisan dan lain sebagainya. Harus diakui pada momen-momen kampaye, kelompok-kelompok ini paling sering didatangi oleh para politisi untuk mencari suara.
Hanya saja, posisi-posisi strategis tersebut belum dapat dimaksimalisasikan sebagai satu gerakan politik yang dapat menciptakan kebijakan-kebijakan yang responsif untuk semua. Kelompok perempuan justru lebih rentan terhadap serangan politik uang, dalam laporan Money Politics and Regression of Democracy: Women Voters Vulnerability in Transactional Politics dikatakan bahwa kerentanan tersebut disebabkan oleh minimnya pengetahuan soal regulasi pemilu dan edukasi politik yang membuat mereka menerima politik uang meski mengetahui perbuatan tersebut terlarang. Faktor lain yang membuat perempuan terlibat dalam pusaran uang adalah faktor ekenomi, hal ini dikarenakan uang senilai Rp. 50.000,- atau Rp. 100.000,- dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan dapur.
Kendala lain adalah masih minimnya kelompok pemilih perempuan untuk memilih perempuan sebagai wakilnya di legilasi. Hal ini dapat dilihat dari 560 kursi di DPR-RI hanya 97 kursi yang diduduki oleh perempuan. Masih minimnya pilihan perempuan terhadap legislator perempuan juga disebabkan legislator perempuan belum menjadi prioritas bagi partai politik. Meski sudah ada kuota 30 persen kursi, namun 30 persen tersebut masih pada pemenuhan kuota (secara kuantitatif) belum pada rekrutmen yang berkualitas.
Penutup
Ini tentu bukan tentang perempuan atau laki-laki, tetapi ini tentang kebijakan yang berkeadilan dan responsif terhadap kebutuhan semua pihak. Perempuan selama ini hanya menjadi objek dan belum dilibatkan secara utuh. Suara mereka hanya dibutuhkan untuk kepentingan electoral tanpa mendengar kebutuhan mendasarnya. Tingginya masalah stunting di Indonesia misalnya, menjadi bukti bahwa politik dan kebijakan belum menyentuh kepentingan-kepentingan kelompok perempuan.
Padahal politik bisa dikatakan berkeadaban jika mampu memberikan perlindungan kepada perempuan secara utuh dan berkeadilan; sebab memberikan perlindungan kepada perempuan sama dengan memberi perlindungan bagi masa depan bangsa. Pada rahimnya akan lahir masa depan bangsa; pada pengetahuannya akan terbentuk karakter generasi penerus bangsa. Jangan sampai politik kita menjadi seperti Athena atau Perseus yang menjadikan Modusa sebagai senjata dan tameng untuk menaklukan musuh. Eh, seingatnya setiap harga cabai, minyak goreng, atau harga beras naik siapa yang paling dipusingkan? (*)
Tulisan ini diterbitkan pertama kali di laman MUJAIYAH’S BLOG