Israel: “Anak” Barat
Pembentukan negara Israel secara ilegal diselimuti banyak sekali misteri dan kontroversi. Ada yang bersifat politis, ada pula yang bersifat ekonomi, namun sangat sedikit – bahkan mungkin tidak ada sama sekali – yang sepenuhnya bersifat keagamaan.
Yang jelas, Israel didirikan oleh negara-negara Barat, terutama Inggris. Inggris ingin menjadikan Palestina sebagai koloni permanennya (Koloni Mahkota), namun hal ini terbukti tidak mungkin dilakukan dalam jangka panjang.
Alternatif yang berharga adalah mendirikan negara Zionis di Palestina, di jantung dunia Muslim.
Negara tersebut diharapkan dapat mewakili dampak kanker terhadap “tubuh” atau masyarakat Muslim – baik sebagai gagasan maupun realitas peradaban yang gamblang – sebagaimana dampak yang biasanya ditimbulkan oleh kanker terhadap tubuh biologis.
Negara yang sama akan bertindak sebagai entitas geopolitik proksi yang melaluinya Inggris dan negara-negara Barat lainnya akan menjalankan pengaruh otoritatif mereka. Israel akan melakukan pekerjaan kotor di lapangan dan akan mendapat imbalan yang setimpal dari negara Barat.
John Philby (1885-1960) – seorang sarjana Inggris, Arabis, dan penjelajah yang masuk Islam pada tahun 1930 dan menjadi penasihat Raja Abdulaziz b. Al Saud – mengatakan bahwa bahkan ketika Inggris berencana untuk mempertahankan Palestina sebagai koloninya, Pemerintah Inggris justru memanfaatkan orang-orang Yahudi untuk keuntungannya.
Keadaan ini mirip dengan permainan politik tingkat paling tinggi. Namun, pandangan pribadi John Philby adalah bahwa “Inggris harus keluar dari negara yang merupakan hak milik orang Arab.”
Sebaliknya, kaum Yahudi Zionis semakin berani dengan kekacauan dan ketidakpastian yang kian melanda wilayah tersebut.
Oleh karena itu, pendirian keras kepala David Ben-Gurion (1886-1973) – seorang pemimpin besar Zionis, bapak pendiri Israel, dan perdana menteri pertama negara tersebut – adalah bahwa orang-orang Yahudi mempunyai hak untuk kembali ke Palestina; mereka akan memperjuangkan hak tersebut jika diperlukan” (John Philby, Ibn Saud dan Palestine).
Persatuan antara Barat dan Israel lebih bersifat kemanfaatan, bukan prinsip. Pernikahan tersebut merupakan sebuah pernikahan demi kenyamanan (persekutuan yang diatur atau pernikahan strategis) yang mengakibatkan lahirnya “anak” (entitas geopolitik) tidak sah yang disebut “Israel.”
Ada pula yang berpendapat bahwa hal tersebut berarti cara untuk membebaskan Barat dari segala tanggung jawab atas kengerian yang dialami kaum Yahudi selama Perang Dunia II, khususnya di Barat. Juga tidak dapat sepenuhnya dikesampingkan bahwa Barat ingin “secara konstruktif” menyingkirkan gangguan Yahudi yang berulang kali terjadi.
Hal ini berarti semacam solusi permanen dimana Barat dan Israel seharusnya muncul sebagai pemenang.
Memang benar bahwa jauh sebelum Perang Dunia II, kaum Yahudi Zionis sangat menginginkan pembentukan negara Yahudi di Palestina, dan impian tersebut cepat atau lambat akan menjadi kenyataan, dengan atau tanpa bencana besar, namun peran Barat tidak akan terwujud. dalam mempercepat, melaksanakan dan memfasilitasi usulan tersebut, tidak dapat disangkal bahwa hal ini sangatlah penting.
Aspirasi negara Zionis adalah alasan utama Zionisme sebagai sebuah filosofi dan gerakan nasionalis, yang kemudian dicangkokkan kepentingan politik Barat yang anti-Islam dan pro-Zionis.
Bapak Zionisme adalah Theodor Herzl yang meninggal pada tahun 1904. Ia menuangkan gagasannya dalam sebuah pamflet berjudul “Negara Yahudi” (“Der Judenstaat” dalam bahasa Jerman) yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1896 di Leipzig dan Wina.
Meskipun demikian, sejumlah besar orang Yahudi, yang dipimpin oleh para sarjana terkenal mereka, berpendapat bahwa gagasan tentang kenegaraan Yahudi hanyalah bagian dari omong kosong nasionalis Zionis.
Mereka berpendapat bahwa orang-orang Yahudi dilarang memiliki negara atau dilarang melakukan tindakan semacam itu.
Bagaimanapun, mendirikan negara Yahudi bukanlah tujuan akhir. Ini sama sekali bukan obat mujarab bagi orang Yahudi. (*)
Sumber: About Islam
Spahic Omer, seorang penulis, Associate Professor di Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences, International Islamic University Malaysia (IIUM). Ia belajar di Bosnia, Mesir dan Malaysia. Pada tahun 2000, ia memperoleh gelar PhD dari Universitas Malaya di Kuala Lumpur di bidang sejarah dan peradaban Islam. Minat penelitiannya meliputi sejarah, kebudayaan dan peradaban Islam, serta sejarah dan teori lingkungan binaan Islam.