TAJDID.ID~Medan || Kasus kopi sianida yang menyebabkan kematian Mirna Salihin pada 2016 silam kini kembali mencuat jadi sorotan publik. Hal itu terjadi setelah film dokumenter Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso tayang di Netflix.
Menaggapi hal tersebut, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Dr. Alpi Sahari, SH. M.Hum mengungkapkan, bahwa perkara ini telah mempunyai kekuatan hukum (inchrat) berdasarkan Putusan Pengadilan yang menyatakan Jessica Kumala alias Jessica Kumala Wongso alias Jess terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Pembunuhan yang direncanaka terlebih dahulu” sebagaimana diatur dan diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUH Pidana.
“Jessica melalui kuasa hukumnya telah melakukan upaya hukum sampai ke Mahkamah Agung dengan Amar Putusan bahwa Mahkamah menolak permohonan kasasi dari permohonan Kasasi/ Terdakwa Jessica sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 498 K/PID/2017. Ujar Dr. Alpi, akademisi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum atas hilangnya Nyawa Brigadir Josua Hutabarat di PN Jakarta Selatan.
Dr Alpi menjelaskan, di dalam hukum terhadap perkara yang telah diputus berdasarkan mekanisme hukum berlaku asas res judicata pro veritate habetur dengan dasar di dalam hukum pidana mensyaratkan mekanisme pembuktian berlandaskan pada sistem due process model.
“Artinya yang dititiberatkan adalah hak-hak individu, adanya pembatasan-pembatasan terhadap penegak hukum dan menyamaratakan kedudukan antar penuntut umum dan terdakwa,” tegas Alpi.
Terhadap keterangan-keterangan yang terdapat dalam film dokumenter terkait Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso, Dr Alpi mengatakan, pada dasarnya telah diuji oleh Hakim yang diselaraskan dengan fakta yang dikemukakan dalam persidangan baik fakta yang disampaikan oleh penutut umum yang diawali dengan berkas perkara penyidikan oleh penyidik Polri yang telah dinyatakan lengkap oleh penuntut umum maupun fakta yang disampaikan oleh terdakwa melalui kuasa hukumnya di muka persidangan, sehingga hakim menilai fakta yang disampaikan apakah memiliki nilai pembuktian atau tidak.
“Hal inilah yang dimaksud dengan fakta hukum untuk menyatakan terdakwa bersalah berlandaskan prinsip negatief wetterlijke, bukan pada keterangan-keterangan yang tidak didasarkan pada mekanisme hukum, sehingga berpotensi sebagai salah satu faktor penyebab distrosi masyarakat terhadap hukum,” ujar Alpi.
“Di beberapa negara pelanggaran atas asas res judicata pro veritate habetur yang dibadankan dalam bentuk norma hukum sebagai bentuk kejahatan karena dampak buruknya terhadap gangguan keamanan negara sebagai pilar negara dibidang kekuasaan yudikatif,” imbuhnya.
Lebih lanjut Dr. Alpi menyatakan, bahwa tujuan dan kegunaan pembuktian berdasarkan sistem due process model pada proses pemeriksaan persidangan sebagai berikut: Pertama, bagi penuntut umum. Pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan Hakim yang berdasarkan alat bukti yang ada agar menyatakan seseorang terdakwa bersalah sesuai surat atau catatan dakwaan.
Kedua, bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaiknya untuk meyakinkan Hakim, yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepas dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya.
“Untuk itu terdakwa atau penasehat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut kebalikannya,” terangnya.
Ketiga, bagi Hakim atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasehat hukum/terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.
Terhadap perkara hilangnya nyawa Wayan Mirna Salihin adalah akibat adanya racun Sianida yang masuk dalam tubuhnya, menurut Alpihal ini harus dibuktikan karena jenis deliknya adalah delik materil yang menitiberatkan pada akibat (de door het gevolg gequalificeerde delicten). Untuk memfaktakan akibat dari musabab hilangnya nyawa tentunya memerlukan scientific crime evindece, setelah terfaktakan akibat dari musabab maka musabab itu tertuju pada perbuatan dari orang yang melakukan perbuatan.
“Disinilah peran direct evindece dan circum stantial evidence yang berlandaskan scientific efidence untuk menandakan siapa pelakunya. Disinilah peran penyidik mengumpulkan dan mencari alat bukti untuk terangnya suatu peristiwa sebagai tindak pidana yang terjadi, bukan menyatakan sipentindak sebagai orang yang bersalah telah melakukan tindak pidana, sehingga tidak beralasan adanya pandangan-pandangan bahwa perkara terhadap Jessica Kumala alias Jessica Kumala Wongso alias Jess dinyatakan bersalah karena didasarkan pada oknum penyidik atau atasan penyidik yang melakukan rangkaian kegiatan penyidikan pada waktu itu,” jelasnya.
“Hal ini keliru karena untuk menyatakan sipetindak bersalah atau tidak bersalah berdasarkan sistem due process model yang dianut di Indonesia adalah Hakim yang memeriksa perkara dimaksud. Ketersalahan merupakan domain pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan yang dilakukan oleh sipetindak (toerekeningsvatbaarheid van de dader),” tambahnya. (*)