Oleh: M. Risfan Sihaloho
Mengapa Pemilu dengan segala variannya itu sering disebut sebagai pesta demokrasi? Bukankah galibnya sebuah pesta itu bermakna perayaan sebuah kemenangan yang dipenuhi eforia suka-cita dan selebrasi? Lantas, kemenangan apa sebenarnya yang kita rayakan, hingga kita pun turut larut di dalam hingar-bingar pesta itu?
Di pesta demokrasi itu, kita dimobilisir sedemikian rupa dengan mengenakan kostum berwarna-warni. Kemuadian, agar tak jenuh kita disuguhi aneka hiburan, mulai dari musik dangdut, akrobat badut hingga kombur penjual obat.
Kita pun sering dipandu untuk meneriakkan yel-yel berisi nama orang dan angka yang tak jelas maknanya. Dan ketika mau pulang, sering juga kita diberi selembar rupiah, katanya untuk pengganti uang tansport.
Begitulah. Tapi apakah memang semua itu yang kita cari? Tak sadarkah kita, sebenarnya di benak mereka si pembuat pesta itu rakyat tidak lebih dari sekedar kerumunan angka yang siap mereka sulap jadi kursi singgasana, tempat mereka kelak duduk santai menikmati pesona kekuasaan, sambil sesekali mengejek kedunguan kita yang bangga disebut sebagai rakyat yang berdaulat dan bermartabat.
Dan akhirnya, ketika pesta usai, nyaris tidak ada yang kita dapatkan selain cuma kekecewaan, sembari menunggu digelarnya pestapora demokrasi selanjutnya. (*)
Top se kali