
Peran Negara
Lantas, dimanakah peran negara yang mestinya jadi pelindung utama rakyatnya dari teror kepalsuan ?
Di republik ini, aktivitas maupun kreativitas “memalsukan” suatu barang (goods) justru memberikan preseden buruk : menyeret masyarakat untuk nekad mengambil risiko sekali pun harus mempertaruhkan nyawa, dan menghasilkan kerugian bagi negeri ini. Kepalsuan yang melanda negeri ini makin sulit dipahami atas perannya untuk mengintervensi, mereduksi, dan memberantas kepalsuan yang ada.
Selama ini, negara justru seolah-olah membuka ruang hadirnya produksi kepalsuan di mana-mana. Dari waktu ke waktu masyarakat justru merasa nyaman dengan kepalsuan itu. Selain memberikan keuntungan bagi pihak yang tidak bertanggung jawab, murah bagi konsumen kebanyakan, dan warga masyarakat yang tidak mampu memiliki barang mahal akan terdongkrak status sosial ekonominya. Inilah cara dan modus masyarakat untuk menaikkan statusnya secara vertikal, ketika hampir semua struktur sosial mempertimbangkan gengsi dan status.
Tidak sedikit pula anak bangsa ini, khususnya anak muda, yang pernah terjebak pada merk-merk mahal yang menempel pada tas, kemeja, celana jeans, parfum, jam tangan, atau aksesories kecantikan (kosmetik). Terkadang karena telah terpengaruh trend mereka nekat untuk tetap mendapatkan barang-barang yang berkelas itu walaupun bukan yang originil alias palsu.
Pun hal yang sama kita pernah berbangga dengan rambut palsu, gigi palsu, hidung palsu, dan wajah palsu sekadar mengingatkan memori kolektif tentang kepalsuan yang menjadi determinasi fenomena “simulakra”.
Dalam simulakra, kita tak lagi bisa membedakan, mana asli, palsu, real (fakta), dan semu. Kita dikepung dengan “reproduksi objek dan/atau peristiwa” (Kellner, 1989). Kita lalu membangun kebiasaan (habitus) pada struktur mental dan kognitif yang digunakan untuk menghadapi kehidupan sosial serba saling mempertontonkan simbol dan status ekonomi.
Apa yang kita lakukan dengan fenomena kepalsuan semata-mata sebagai rangkaian skemata atau pola yang diinternalisasikan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial di mana kita hidup dan saling berinteraksi. Kita lalu membentuk apa yang diistilahkan Pierre F. Bourdieu sebagai “habitus”, yang memproduksi internalisasi struktur dunia sosial, yang kemudian digerakkan melalui tindakan-tindakan dalam dunia sosial itu sendiri.
Menurut Baudrillard, kepalsuan kemudian bermain-main dan menjadi doxa. Membangun “seolah-olah” dunia nyata itu sendiri yang ternyata bisa dimanipulasi. Sebuah hiperealitas, mengatasi realitas nyata, sebuah simulasi atas produksi artifisial kenyataan, yang pada akhirnya menciptakan realitasnya sendiri. Dunia kepalsuan lalu mengental, menghampiri sesuatu yang asli. Sementara dunia nyata yang asli lalu menjauh karena dikonstruksi secara mahal, langka, dan hanya kalangan tertentu yang dapat memiliki dan menikmatinya. Keaslian kemudian berubah sebagai patafisika (pataphysics), sebuah kekuatan citra dalam membentuk dan mendefinisikan realitas.
Bukan cuma itu, kepalsuan juga diimprovisasi dalam dunia politik melalui apa yang disebut Lewis A. Coser (1977) sebagai endowed (membantu dengan pemberian). Sewaktu kita memilih wakil-wakil rakyat atau pemimpin, semestinya dapat menghasilkan aktor-aktor konkrit, aktor-aktor dengan otentisitas teruji. Namun dalam perjalanan waktu, aktor-aktor itu berubah menjadi tidak konkrit, palsu. Mereka tidak cukup cakap menjadi elit dan aktor sesungguhnya sebagaimana diharapkan.
Mereka hadir sebagai aktor dan elit karena didongkrak dengan pemberian-pemberian (endowed) berdasarkan : satu daerah, satu keluarga, dan kepentingan yang sama. Atau boleh jadi karena didukung kemampuan bermain “manipulasi”, maka jadilah dia “seolah-olah” sebagai aktor, padahal hanyalah aktor semu belaka.
Pemimpin atau penguasa palsu potensial juga akan gemar membuat kebijakan palsu. Pemimpin palsu adalah pemimpin yang gemar melakukan pencitraan, tidak sesuan ucapan dan tindakan, kaya janji dan miskin bukti.
Dengan demikian, tak salah lagi bangsa ini memerlukan aktor-aktor dengan kemampuan memikul tanggung jawab mengurus hajat hidup publik, serta memiliki kekuatan hati menggerakkan kehidupan yang lebih baik. Kulminasi krisis aktor konkrit dan otentik yang selama ini kita dukung, pilih, bentuk, harus ditekan agar tidak menjadi beban bagi perjalanan sejarah masa depan martabat kemanusiaan yang tengah dirundung oleh nestapa kepalsuan. (*)