TAJDID.ID || Lebih dari 300 anak Muslim tidak masuk sekolah di Sekolah Dasar Birchfields di Fallowfield, Manchester Inggris selama tiga hari minggu lalu. Para siswa muslim itu dilarang orang tua mereka masuk sekolah sebagai protes tentang pengajaran pendidikan seks yang dicurigai berisi konten tak sesuai umur dan materi LGBTQ yang diajarkan di sekolah tersebut.
Seperti dilaporkan laman 5Pilars, sebagian besar orang tua telah kehilangan kepercayaan pada kepemimpinan sekolah karena apa yang mereka anggap sebagai kurangnya konsultasi.
Beberapa orang tua bahkan mengungkapkan mereka dilarang mengadakan pertemuan dengan pembatalan tempat pada menit terakhir di bawah tekanan dari otoritas setempat.
Menyusul protes tersebut, anehnya Dewan Kota Manchester justru mengancam orang tua dengan denda dan mengingatkan mereka tentang tanggung jawab mereka untuk memastikan anak-anak mereka bersekolah.
Thay mengatakan “masalah kurikulum bukanlah alasan yang dapat diterima untuk melarang anak Anda bersekolah.”
Ketika media mencoba mengkonfirmasi pihak Sekolah Dasar Birchfields, yang memiliki mayoritas siswa Muslim di antara hampir 700 muridnya, namun mereka tidak memberikan penjelasan apapun.
Mohammed Sajjad, dari kelompok yang terdiri lebih dari 200 orang tua yang peduli, menulis surat kepada Birchfields pada 10 Juni, mengeluhkan bahwa sekolah telah menayangkan konten yang tidak sesuai usia kepada anak-anak kecil tanpa persetujuan orang tua.
Ini termasuk video berjudul “Kisah Willa” di mana seorang anak laki-laki berusia 7 tahun menjelaskan mengapa dia bertransisi menjadi seorang gadis. Video tersebut, yang diperlihatkan kepada anak-anak kecil tahun lalu, telah ditarik oleh sekolah.
“Ini bukan bentuk tindakan yang dianggap enteng… ‘Sekolah Dasar Birchfields – Persatuan Orang Tua’ telah didirikan dan bertindak atas nama orang tua yang peduli yang merasa suara mereka tidak didengar dan mereka terpinggirkan,” tulis Mr Sajjad kepada pihak sekolah.
“Sekolah masih mengabaikan beberapa hal, salah satunya RSE. Kami menghargai bahwa Pendidikan Hubungan adalah wajib di semua sekolah dasar di Inggris namun Pendidikan Seks tidak.” imbuhnya.
Kisah Willa
Sajjad menuturkan, alasan penolakan mereka bukan semata-mata karena anti LGBTQ, tapi karena orang tua belum dikonsultasikan dengan benar oleh sekolah. Selain karena bahasa Inggris bukan bahasa pertama bagi banyak orang tua, mereka tidak mengerti “jargon pendidikan” yang membingungkan.
Dia menambahkan, mengenai RSE, sekolah sayangnya memilih untuk mengambil langkah mundur tahun ini dan tidak membuat orang tua sadar ketika materi sedang diajarkan. Selanjutnya, video ‘Willa’ yang ditayangkan tahun lalu diajarkan di luar RSE dan di PSHE. Sayangnya sekolah memutuskan tidak perlu memberi tahu orang tua tentang video yang ditayangkan yang menyebabkan banyak orang tua kehilangan kepercayaan terhadap sekolah.
“Sekolah Dasar Birchfields – Parents Unity ingin meninjau semua materi LGBTQ+ di bawah Kebebasan Informasi 2000. Kami dengan hormat meminta SEMUA pengajaran materi untuk ditunda sampai tercapai solusi. Ini telah diminta sebelumnya tetapi tidak berhasil, saya harap sekarang diperlakukan dengan keseriusan yang dibutuhkan,” ujarnya.
“Meskipun video ‘Willa’ telah dihapus, kekhawatiran kami adalah proses pengambilan keputusan di balik video tersebut ke dalam kurikulum dan bagaimana itu dipilih, karena kami merasa proses ini tidak memadai dan tidak dipikirkan matang-matang. Kami ingin memastikan konten semacam itu tidak masuk ke ruang kelas tanpa diverifikasi dan disetujui sepenuhnya…,” tambahnya lagi
Sajjad menegaskan, sebagian besar orang tua di Sekolah Dasar Birchfields telah kehilangan kepercayaan terhadap sekolah, yang merupakan masalah pengamanan yang nyata. menurutnya, sekolah mestinya menjadi cerminan masyarakat yang diwakilinya, saat ini orang tua merasa sekolah tidak.
“Yang kami rasakan adalah kegagalan luar biasa yang diakui oleh sekolah. Kami setuju bahwa siswa harus dapat memahami dunia tempat mereka tumbuh, namun hal ini juga harus mempertimbangkan komunitas yang diwakilinya.” kata Sajjad.
Berikut sejumlah poin tuntutan orang tua murid:
- Pertemuan semua orang tua dengan Sekolah/Gubernur untuk mengatasi masalah ini.
- Konsultasi orang tua tentang materi apa yang dianggap sesuai usia.
- Semua materi LGBT dibatasi untuk RSE.
- Perwakilan orang tua untuk mengikuti pelajaran RSE/PSHE untuk memastikan materi yang diajarkan dilakukan secara profesional dan tidak memihak.
Dewan Kota Manchester
Setelah boikot sekolah, orang tua dikirimi surat oleh Dewan Kota Manchester pada hari Jumat yang mengancam mereka dengan denda jika anak-anak mereka tidak bersekolah.
Paul Marshall, dari Direktorat Anak dan Keluarga dewan, berkata: “Saya menulis untuk mengingatkan semua orang tua dan wali bahwa Anda bertanggung jawab secara hukum untuk memastikan anak Anda hadir setiap hari buka. Masalah kurikulum bukanlah alasan yang dapat diterima untuk melarang anak Anda bersekolah dan akan digolongkan sebagai ketidakhadiran tanpa izin.
“Ketidakhadiran yang berkelanjutan dapat menyebabkan tindakan lebih lanjut oleh sekolah, termasuk mengeluarkan pemberitahuan hukuman (denda) untuk setiap periode ketidakhadiran,” ujarnya bernada mengancam.
Paul Marshall mengatakan, pihaknya memahami bahwa beberapa orang tua memiliki kekhawatiran tentang aspek kurikulum yang diajarkan di sekolah. Namun ia mengingatkan, bagaimanapun, bahwa pendidikan hubungan adalah wajib di semua sekolah dasar di Inggris dan bukan sesuatu yang dapat dipilih oleh sekolah.
“Seperti biasa, kami berkomitmen untuk bekerja sama dengan Anda dalam hal ini dan untuk mengatasi masalah apa pun yang mungkin Anda miliki dan terus melakukannya. Sebagai orang tua dan guru, saya pikir kita semua menginginkan hal yang sama untuk anak-anak kita – agar mereka berkembang, sukses, dan bahagia dalam hidup mereka.” katanya.
Di situs webnya, kepala sekolah Birchfield Samantha Offord sempat berkilah dengan mengatakan kesetaraan, rasa hormat, ketahanan, kejujuran, kesehatan yang baik, dan kebaikan adalah inti dari semua yang dilakukan sekolah.
“Kami adalah sekolah inklusif di mana semua diperlakukan sama dan diberi kesempatan yang sama tanpa memandang usia, disabilitas, perubahan jenis kelamin, perkawinan dan kemitraan sipil, kehamilan dan persalinan, ras, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, dan orientasi seksual,” jelasnya.
Sementara itu, tokoh pendidikan Yusuf Patel, dari SRE Islamic, mengatakan komunitas Muslim dan orang tua perlu menolak ketika identitas LGBTQ dipaksakan oleh sekolah kepada anak-anak Muslim.
Menurut Yusuf, hal semacam ini semakin sering terjadi. Sekolah melompati diri mereka sendiri untuk membuktikan bahwa mereka pro-keragaman tetapi keragaman itu tampaknya menekankan identitas LGBTQ dan tidak memperhitungkan bahwa ada siswa Muslim yang juga memiliki karakteristik yang dilindungi dan harus diperlakukan dengan hormat. Sekolah memaksakan hierarki kesetaraan di mana orientasi seksual dan gender berada di atas dan keyakinan dan kepercayaan berada di bawah.
“Tapi salah satu masalah terbesar kami adalah orang tua Muslim tidak cukup sering menolak. Jika mereka melakukannya maka sekolah akan berpikir ulang atau berpikir dua kali tentang apa yang mereka lakukan dalam sesi ini.” tegas Yusuf.
“Saya akan menyarankan orang tua dan komunitas Muslim setempat untuk mengatur dan terlibat serta berkomunikasi dengan sekolah terkait persoalan ini. Mudah-mudahan dapat memberikan hasil yang positif.” pungkasnya.