TAJDID.ID || Mantan politisi nasional, Abdillah Toha melontarkan sebuah cuitan bernada satire terhadap salah satu lembaga survei nasional, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).
Pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengungkapkan kegagumannya kepada SMRC dan menyebut lembaga survei tersebut seperti pabrik assembling.
“Saya kagum surveiyor SMRC. Seperti pabrik assembling mampu produksi 2 atau 3 survei seminggu. Barangkali ini surveiyor paling produktif sedunia. Hasilnya selalu mirip2. Barangkali bahan bakunya (kelompok sasaran) sama terus. Dan pemasukannya sdh dijamin oleh pelanggan tertentu?,” demikian komentar akun @AT_AbdillahToha ketika mere-tweet kicauan akun twitter resmi SMRC, Senin (5/6/2023) yang berisi rilis hasil survei terbarunya dengan tajuk ‘Prabowo-Ganjar Saling Salip, Anies Terus Menurun’.

Diketahui, belakangan Penasehat Wakil Presiden RI 2009-2014 bidang Telaah Strategi itu sering melontarkan kritik terhadap rezim pemerintahan Jokowi.
Teranyar, mantan Anggota DPR RI periode 2004-2009 itu mengirim surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo. Surat terbuka ditulis karena cintanya kepada Tanah Air dan hormat kepada Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara. Namun, surat terbuka ini juga bernada kritikan untuk presiden.
“Yang terpenting dalam tulisan singkat ini adalah saya merasa di ujung jabatan Bapak Presiden kita telah mengambil langkah-langkah dan manuver-manuver politik yang membahayakan demokrasi kita,” demikian isi surat Abdillah Toha.
Menurut Abdillah Toha, demokrasi yang susah payah dibangun pada reformasi 1998 dalam keadaan bahaya. Demokrasi tersebut menuju keruntuhan.
“Dalam setahun terakhir ini, Bapak tidak lagi konsentrasi pada pekerjaan utama yang dimandatkan rakyat yang harus diakui telah mencapai berbagai kemajuan yang menggembirakan. Tetapi telah bermanuver untuk merusak demokrasi,” lanjutnya dalam surat tersebut.
Abdillah Toha menyebut bahwa Presiden Joko Widodo sedang bermanuver untuk merusak demokrasi. Manuver tersebut berupa pembatasan jumlah calon presiden oleh undang-undang dan berbagai perilaku aib yang membahayakan demokrasi.
“Baik langsung oleh Bapak sendiri maupun oleh pembantu-pembantu bapak yang dekat dan bekerja di Istana, yang tidak mungkin dilakukan tanpa sepengetahun dan restu dari orang paling berkuasa di negeri ini, yaitu Presiden RI,” ujarnya. (*)