Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Di Indonesia ada tiga agenda tetap konflik kepartaian. Pertama, saat bermusyawarah (dan kongres) untuk menentukan pengurus dengan pertarungan meneruskan jabatan yang lama atau mengorbitkan yang baru.
Ingat Surya Paloh pergi dari Partai Golkar dengan sebuah tekad, dan setelah mendirikan Ormas Nasional Demokrat tak lama kemudian mendirikan Nasional Demokrat (NasDem) partai dan segera berusaha memenuhi ketentuan regulasi untuk menjadi peserta pemilu. Kisah serupa ajeg, dan tak sedikit partai yang adalah hasil “pemberontakan” kepada “partai induknya”.
Kedua, saat menentukan calon untuk eksekutif (pilpres dan Pilkada). Umumnya karena ketidaksepakatan atas kandidat yang ditetapkan, dan tak sedikit yang melahirkan pembangkangan dan bahkan keluar dari partainya.
Kita tahu regulasi yang berlaku memberi hak usul belaka kepada pengurus partai di daerah yang hanya berfungsi sebagai cabang ansich. Sedangkan penentuan finalnya ada pada “amangboru” dan “namboru” yang menjadi “pemilik” partai yang bersingga sana di Jakarta.
hanya dua pertimbangan untuk beroleh penetapan, yakni kedekatan kepada pemilik partai dan nilai persembahan material untuk Jakarta. Ini hanya dapat terjadi karena partai politik Indonesia didisain oligarkis dan agak anti demokratisasi.
Ketiga, penentuan calon legislatif. Sifat oligarkis dan anti demokratisasi partai juga hadir signifikan di sini.
Partai mana pun yang mengalami konflik dalam proses pengajuan Calon (Sementara) Legislatif untuk pemilu 2024 pastilah terkait dengan salah satu agenda konflik tetap kepartaian Indonesia itu.
Tidak ada yang begitu baru di sini. Hanya saja, seseorang bisa merasa keputusan terbaik menghadapi perlakuan yang dinilainya tidak adil terhadapnya ialah pindah partai senyampang waktu masih memungkinkan untuk itu dan jika diberi tempat dan posisi yang memungkinkannya terorbit melalui kontestasi elektoral 2024 pada partai baru.
Seseorang masuk ke organisasi apa pun, apalagi partai politik, tentu memperkirakan manfaat yang mungkin dia peroleh. Apalagi partai politik, jika tak beroleh harapan untuk meraih kekuasaan maka sangat masuk akal seseorang mencari wadah lain.
Hal itu lebih dimungkinkan secara lebih mudah lagi oleh fakta bahwa regulasi politik di Indonesia tak memiliki keberanian untuk mendefinisikan “kader partai”.
Juga karena fakta bahwa ideologi dalam partai adalah sesuatu yang sudah sejak lama dianggap tak lagi begitu penting dibunyikan.
Pemilu 2014, misalnya, si A berhasil duduk di lembaga legislatif dari partai Indonesia Bagus Selalu, dan pada pemilu 2019 berhasil duduk namun dari partai berbeda, yakni partai Selalu Bagus Indonesia. Jika untuk pemilu 2024 si A akan mencalon dari partai yang lain lagi, yakni partai Bagus Indonesia Selalu, tak ada yang akan menghalanginya. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU dan Ketua Lembaga Hikmah Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut.