Oleh: Gian Faiq Al Ahnaf
Sore itu Fachri menatap mentari yang mulai tenggelam perlahan, hingga akhirnya menyisakan warna kemerahan di atas langit. Pikiran Fachri masih terbelenggu oleh bayangan akan masa depan, mimpi yang dulu menggebu-gebu di hatinya seketika menjadi sebuah nestapa.
“Sudahlah, ayo pulang ke rumah. Buat apa melamun disini?” Fachri mengabaikan perkataan Zaban dan masih terus termenung.
Saban hari Fachri pergi ke pantai untuk menenangkan dirinya sendiri dan mencoba berdialog dengan angin pantai. Fachri sangat ingin belajar ilmu agama di pondok pesantren, tetapi apa daya ibunya berbanding terbalik dengan Fachri. Dia berencana mendaftarkan Fachri di universitas ternama.
”Kenapa sih ma aku harus kuliah? Lagi pula tidak ada yang menjamin seorang sarjana akan sukses di masa depan, bahkan sekarang saja banyak seorang sarjana yang kesulitan mendapat pekerjaan,” ucap Fachri dengan nada yang cukup tinggi, setelah sekian lama dia memendam isi hatinya.
Nurjannah tertegun mendengar perkataan anaknya yang selama ini dibangga-banggakan “Memang tidak ada yang menjamin ri, tetapi setidaknya kamu bisa mendapat ijazah yang bisa digunakan untuk melamar pekerjaan.” Nurjannah tak kuasa mengahadapi sikap anaknya lantas pergi ke kamar meninggalkan Fachri dengan nafas sesenggukan.
Sementara itu, Syafie hanya bisa diam melihat istri dan anaknya berdebat. Sebenarnya ia sendiri membebaskan anaknya untuk menentukan arah yang akan dituju, akan tetapi ia tidak bisa langsung berterus terang mengatakan hal tersebut di hadapan istrinya. Karena ia khawatir itu hanya akan memperburuk situasi saat ini.
Kini Fachri sudah tidak tahu lagi kepada siapa ia bisa berkeluh kesah menumpahkan gejolak yang ada di hatinya, Zaban yang telah mendapat restu dari orang tuanya untuk belajar di pondok pesantren merasa iba dengan yang dialami Fachri.
“Aku punya sedikit saran untukmu ri,” kata Zaban, Fachri masih terus terdiam.
“Memang bukan hal yang mudah untuk mendapatkan semua yang kita mau ri,” Fachri mulai memperhatikan ucapan temannya itu.
“Apa yang kamu maksud?” tanya Fachri.
“Di dunia ini, selama kita masih hidup cobaan ataupun masalah akan terus bermunculan, termasuk keinginanmu untuk masuk pesantren yang belum direstui. Aku tahu ri, kamu sudah berulang kali membujuk ibumu untuk hal itu. Tetapi jika aku perhatikan dengan seksama, sebenarnya kamu bisa mendapatkan apa yang kamu mau tanpa harus mengabaikan keinginan orang tua mu.” Fachri mulai memahami arah pembicaraan Zaban.
“Jadi yang kamu maksud aku kuliah dulu sesuai dengan keinginan ibuku lalu setelah lulus baru masuk pesantren? Itu akan membutuhkan waktu yang sangat lama dan tentu akan menyiksa diriku sendiri.” Zaban sudah menyangka Fachri akan berkata demikian, karena ia tahu betul apa yang sedang Fachri rasakan.
”Sadarlah ri, jika bukan karena jeritan dan rasa sakit yang dirasakan ibumu saat melahirkan dirimu apakah kini kamu mampu menatap dunia? Jika bukan karena kasih sayang ibumu yang telah merawat dirimu dengan begitu tulus bahkan sejak dirimu masih dalam kandungan hingga detik ini apakah kau yakin bisa memiliki keinginan masuk pesantren?” Tak terasa air mata Fachri telah membasahi wajahnya hingga menetes ke pasir pantai. Ia baru menyadari sikap yang diberikan kepada ibunya di tempo hari sangatlah tidak pantas, kini yang ada dalam pikirannya hanyalah rasa malu dan bersalah.
Zaban membantu Fachri menyeka air mata yang terus menetes dan mencoba menenangkannya. ”Sudah ri, semua orang pun pernah melakukan kesalahan, bahkan diriku sendiri. Tetapi yang terpenting adalah kita bersedia memperbaiki setiap kesalahan yang telah kita perbuat, tidak ada kata terlambat bagi orang yang hendak melakukan kebaikan.”
Fachri pun sudah terbayang apa yang harus dilakukannya. “Terimakasih ban, aku sangat beruntung memiliki teman sepertimu. Entah apa yang akan terjadi pada diriku saat ini jika kamu tidak ada,” ucap Fachri seraya menyeka air mata terakhirnya.
Sementara itu, Nurjannah masih termenung di kamarnya sambil meneteskan air mata. Dirinya merasa sakit hati bukan karena Fachri tidak mau kuliah, akan tetapi karena sikap Fachri yang tidak pernah terbayangkan olehnya dan hingga kini Fachri belum mengatakan sepatah kata pun.
“Mau aku buatkan teh manis sayang?” tawar Syafie untuk mencoba menenangkan istrinya.
“Terimakasih pa,” ucap Nurjannah dengan nada datar. Aroma teh tercium di sepanjang rumah itu, membuat suasana menjadi sejuk.
“Apakah kita gagal mendidik Fachri pa?” tanya Nurjannah. Tidak butuh lama bagi Syafie untuk memahami maksud pertanyaan tersebut, Syafie memeluk istrinya dan membelai rambutnya.
“Tidak sayang, selama ini Fachri selalu membuat kita bahagia bukan? Hanya saja kini Fachri sudah beranjak dewasa, emosinya belum bisa stabil. Dia masih perlu banyak bimbingan untuk memecahkan setiap permasalahannya. Papa yakin dia akan terbuka pikirannya ma, tenang saja” jawab Syafie. Nurjannah belum bisa tenang sepenuhnya, pikirannya hanya tertuju pada Fachri, anak satu-satunya.
“Ayo aku antar ke rumah ri,” ajak Zaban.
“Tak perlu ban, mungkin lebih baik aku pulang sendiri saja. Sekali lagi terimakasih ban,” ucap Fachri. Fachri pulang ke rumahnya dengan penuh penyesalan di hati dan rasa malu yang baru pernah ia rasakan.
Setibanya dirumah Fachri bersimpuh di kaki ibunya dan tak kuasa lagi menahan air matanya “Maafkan Fachri ma, Fachri tidak akan lagi mengecewakan mama” ucap Fachri.
Nurjannah lantas memeluk Fachri seerat-eratnya “Ibu tak pernah merasa kecewa denganmu nak, kamu selalu membuat ibu bahagia. Tidak ada yang bisa membuat ibu tersenyum selain dirimu nak” ucap Nurjannah seraya meneteskan air mata. Di sudut ruangan, Syafie tersenyum lebar melihat perilaku anaknya.
Singkat cerita Fachri melanjutkan studinya di sebuah universitas dengan prodi Studi Agama Islam dan tinggal di pesantren dekat dengan universitasnya. Hingga pada akhirnya ia menjadi lulusan terbaik dan menjadi seorang dosen yang sangat mumpuni keilmuannya. Semua itu berkat kerja keras Fachri disertai doa dan restu dari orang tuanya dan tentu saja juga merupakan sebuah anugrah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. (*)
Biografi
Penulis merupakan mahasiswa semester 2 dari Universitas Islam Negeri Prof. KH. Saifuddin Zuhri Purwokerto atau UIN Saizu di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan prodi Pendidikan Agama Islam. Keseharian penulis diisi dengan perkuliahan dan di sela- sela perkuliahan penulis banyak membaca buku-buku sastra, terlebih novel. Dari novel tersebut penulis mendapatkan pelajaran banyak mengenai sastra. Penulis juga mempunyai hobi lainnya seperti berkebun, berenang dan juga bermain bulu tangkis.Kontak penulis : 085740703520/gianfaiq616@gmail.com