TAJDID.ID~Sekayu Muba || Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sumatera Selatan (DPD IMM Sumsel) sebelum merancang Grand Design Sekolah Kader Sosio-Politik menghadirkan pembicara Ibunda Hj. Yetti Oktarina Prana untuk memberikan wejangan tentang Peran Wanita dalam Politik Kebangsaan yang disampaikan di Aula Pemkab Musi Banyuasin, Sekayu, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan pada Sabtu (11/02/2023).
Hj. Yetti Oktarina Prana, Ketua TP PKK Kota Lubuklinggau menyampaikan peran wanita dalam politik kebangsaan sangatlah penting. Agar supaya pengambilan keputusan politik lebih berimbang dan memperhatikan hak kaum hawa dalam kebijakannya.
“Pentingnya keterlibatan Wanita dalam politik kebangsaan. Sehingga nantinya dapat mendorong terciptanya kebijakan yang responsif gender. Dan memperluas peran perempuan dalam pembangunan,” jelasnya.
Ibunda Yetti menjelaskan sejarah partisipasi perempuan dalam politik kebangsaan di Indonesia. Pertama, Era Perjuangan atau Pemerintahan Belanda, sejak abad ke -19 telah ada beberapa perempuan yang terlibat dalam politik perjuangan yaitu Nyi Ageng Serang XIX, Cut Nyak Dien, Christina Martha Tiahahu, Dewi Sartika, R.A. Kartini, dan lain-lain. Diadakan Kongres Perempuan di Yogyakarta 22-25 desember tahun 1928 sebagai gerakan perempuan pertama yang dihadiri 1000 orang peserta.
Kedua, Era pemerintahan Jepang, awalnya Barisan Puetri Asia Raja yang merupakan bagian dari Gerakan Tiga A Barisan Pekerdja Perempoean Poetra yang merupakan bagian dari Poesat Tenaga Rakjat Fujinkai. Kemudian jepang menyatakan bubar bagi semua organisasi perempuan yang ada dan hanya memberi satu wadah bagi perempuan unrtuk berorganisasi yaitu FUJINKAI JAWA HOKOKAI yang tersebar diselruh penjuru tanah air tempat tentara jepang berada.
Ketiga, Era awal kemerdekaan pada masa Sukarno, perempuan telah diakui haknya dalam politik baik hak pilih maupun dipilih sebagai anggota parlemen. Salah satu keberhasilan perjuangan politik perempuan saat itu adalah terbitnya undang-undang no 80 tahun 1958 yang didalamnya bernuansa keadilan gender dimana didalamnya laki-laki dan perempuan tidak dibedakan dalam sistem penggajian untuk pekejaan yang sama.
Ketiga, Era Pemerintahan Suharto, dibentuk organisasi seperti PKK, Bhayangkari, Persit dan lain-lain. Perjuangan politik perempuan pada masa pemerintahan Suharto menghasilkan beberapa Kebijakan diantaranya dikeluarkannya Undang-undang Perkawinan Tahun dan dibentuknya kementerian Muda urusan peranan wanita pada Kabinet Pembangunan.
Kelima, Era Reformasi adanya peraturan tentang diharuskannya caleg perempuan sebanyak 30 persen. Aturan tersebut tertulis dalam beberapa UU, yakni UU no 31 tahun 2002, UU no. 12 tahun 2003, UU no. 2 tahun 2008, UU no, 10 tahun 2008 dan UU no 7 tahun 2017. (*)
Kontributor: Preli Yulianto