TAJDID.ID~Medan || Founder Ethics of Care, Farid Wajdi mengatakan, penilaian Kota Medan sebagai Kota Terkotor se-Indonesia versi Kementerian Lingkungan Hdiup dan Kehutanan (KLHK) adalah lanjutan gelar serupa pada tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2019 silam Kota Medan juga ditetapkan sebagai Kota Terkotor di Indonesia Penilaian ini didasarkan pada sungai, jalan, air hingga tumpukan sampah.
“Nah, untuk penyematan sebagai Kota Terkotor Medan bersama Bandarlampung, Manado, Sorong dan Kupang. Bagi sebagian orang penyematan Kota Terjorok agak mengagetkan memang karena kota ini punya segala potensi untuk menjadi kota besar yang tidak kalah dengan kota maju di dunia. ‘Gelar’ dari KLKH ternyata bukan tanpa alasan, pengelolaan sampah yang terbilang tidak maksimal menjadi alasan utama dan menggambarkan kota ini menjadi kota terkotor,” ujar Farid melalui keterangan tertulisnya, Rabu (25/1/2023).
Farid mengungkapkan, tidak kurang dari 2.100 ton sampah dihasilkan setiap hari dan rata-rata per bulan mencapai 63.000 ton sampah yang menjadi akar permasalahan. “Masalah sampah ini makin lengkap ketika saluran drainase di beberapa titik tidak bekerja dengan baik, alhasil ketika hujan tiba, sampah menumpuk maka banjir yang datang menyapa masyarakat Kota Medan,” kata Farid.
Dari tahun ke tahun soal sampah seperti soal yang pelik untuk diselesaikan. Menurut Farid, kepatuhan masyarakat untuk membuat sampah sesuai tempatnya nampaknya masih terus perlu diedukasi, tak boleh berhenti.
“Tetapi, masalah utama lain justru datang dari Pemkot Kota Medan yang belum menemukan formula yang pas untuk mengatasi masalah pengadaan truk pengangkut sampah dari rumah ke rumah sampai pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA),” ungkapnya.
Lebih lanjut Farid mengatakan, gelar rutin beberapa tahun belakangan dari KLKH untuk Kota Medan sebagai kota terkotor, harus diakui memang masalah sampah ini tidak dapat diselesaikan hanya satu atau dua hari saja tapi membutuhkan waktu agar dapat mengubah citra buruk kota ini. Menurutnya, edukasi kepada masyarakat tentu sangat penting agar mereka mengerti dampak yang ditimbulkan jika membuang sampah tidak pada tempatnya karena, di beberapa titik, sampah menyumbat saluran air ketika hujan datang yang mengakibatkan banjir.
“Meskipun ada catatan banjir yang terjadi bukan hanya semata-mata hanya karena sampah melainkan drainase yang tidak maksimal sehingga aliran air tidak terbuang dengan baik,” ujarnya.
Farid menawarkan solusi awal bagi Pemkot Medan dalam menjauhkan gelar Kota Terkotor adalah mengefektifkan perangkat kelurahan-lingkungan, memastikan petugas kebersihan bekerja secara benar dan tepat, dan peningkatan peran lembaga legislatif dalam pelayanan publik pada semua sektornya.
Farid menilai, lembaga legislatif tidak menjalankan tugas pokok dan fungsi secara benar. Fungsi legislatif lebih banyak mengerjakan hal-hal sepele bersifat administatif seperti mengurus KTP, KK dan akte kelahiran warga.
“Padahal itu adalah kewajiban administrasi yang sepatutnya sudah selesai dan tugas rutin aparat pemkot. Hal-hal yang bersifat fundamental seperti pelayanan sektor publik lain justru diabaikan atau bahkan terkesan tak diaspirasikan sebagai beban utama kepada konstituennya,” tegasnya.
Karena itu, kata Farid, jika melihat wajah Kota Medan secara umum sesungguhnya pantulan cermin yang terlihat adalah Kota Medan seperti kota tak bertuan (auto-pilot). Sektor keamanan, kenyamanan dan ketertiban Kota Medan minus dan terasa tak menampilkan wajah kota metropolitan di Indonesia.
“Padahal, kota ini juga menjadi salah satu daerah termaju yang diproyeksikan menjadi salah satu pesona Indonesia di mata dunia,” pungkasnya. (*)