Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Belum lama ini beredar sebuah video pendek (short video) dengan judul “Pemerintah Diminta Tindak Tegas RS Curang ke Pasien”. Video yang diunggah akun TikTok Lintas Parlemen itu memuat komentar sejumlah anggota Komisi IX DPR RI yang mengkritik Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan terkait temuan kasus adanya Rumah Sakit yang memulangkan pasien sebelum sehat. Ulasan ini adalah tanggapan saya terhadap konten video tersebut.
Mengherankan sekali mengapa orang-orang dalam video yang kelihatannya adalah wakil rakyat di legislatif ini baru berani berbicara sekarang, setelah sekian lama hak-hak normatif rakyat setanah air dieksploitasi secara terbuka dan terlembaga.
Praktik eksploitatif itu dapat berlangsung pastilah karena mereka lalai dalam menjalankan fungsi jabatannya sebagai legislator.
Koreksi yang mereka ajukan juga hanya bersifat “kosmetika” belaka, sama sekali tidak mendasar.
Penyebabnya pastilah karena penentu kebijakan di negeri ini sudah oyong dan mabuk karena obsesi akumulasi benefit material dalam logika neoliberalisme yang menentang Pancasila.
Ini sangat menyedihkan, pemerintah tak merasa janggal seolah sekadar menggantikan praktik pemerintahan kolonial yang menjajah di Indonesia selama 350 tahun.
Jangan-jangan pemerintah tidak faham bahwa jika sektor kesehatan diperdagangkan, sama saja sebuah negeri sudah “kiamat”.
Dulu pemerintah kolonial memang tidak pernah memiliki urusan apa pun di sini kecuali untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya. Di mana saja kolonial tidak merasa perlu memikirkan rakyat, kecuali sebagai faktor produksi belaka. Posisi rakyat tak menjadi determinan penting untuk maksud penjajahan.
Kesehatan adalah urusan yang bertalian langsung dengan kualitas manusia. Jadi sangat paradoks jika pada satu segi pemerintah dengan semangat terus meneriakkan bangga keuntungan bonus demografi ke depan. Padahal pada segi lain bonus demografi yang dibangga-banggakan itu tidak mungkin terjadi dan tak mungkin memberi andil apa-apa jika tak dibarengi dengan kualitas. Sudah seperti itu, lagi-lagi dengan cara berfikir logika neoliberalisme, masih saja terus meneriakkan daya saing.
Mari kita simak apa kata konstitusi. Pada alinea 4 Pembukaan disebutkan bahwa tujuan pendirian dan pemerdekaan Indonesia antara lain ditegaskan adalah untuk memastikan penghapusan penjajahan, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bagaimana praktik pelayanan kesehatan di negeri yang dimerdekakan 75 tahun tetap mengedepankan motif kepenjajahan?
Tak terpikirkah bahwa dalam diksi “melindungi segenap bangsa”, “memajukan kesejateraan umum” dan “mencerdaskan kehidupan bangsa” itu dikandung maksud bahwa warga negara sedapat mungkin dibebaskan dari kendala struktural yang bersumber dari kesulitan dalam “membeli” kesehatan dan “membeli” pendidikan.
Saya serukan bebaskan rakyat dari biaya kesehatan dan juga pendidikan. Jika tak bisa pada periode pemerintahan sekarang, sebaiknya direalisasikan segera begitu razim berganti.
Di mana-mana, meski dalam kesulitan yang cukup berat, pemerintahan-pemerintahan dunia sudah dengan optimistik bergeser ke trend penyelenggaraan negara kesejahteraan (welfare state). Mereka memosisikan rakyat sebagai determinan utama dalam kehidupan negara-bangsa. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU