TAJDID.ID~Medan || Founder Ethics of Care, Farid Wajdi mengatakan, Pemerintah Kota Medan dan DPRD Medan perlu membuat regulasi yang bertujuan untuk melakukan pembatasan jam operasional tempat hiburan guna menjaga keamanan, kenyamanan dan kerukunan.
“Tindakan proteksi dan regulasi berguna sebagai upaya menjamin hak-hak warga dikenal sebagai konsep Civil citizen-ship, yakni konsep kewarganegaraan yang memberikan arti pentingnya hak-hak manusia yang asasi, yang karena itu wajib dijamin tegaknya oleh negara,” ujar Farid melalui keterangan tertulisnya, Selasa (3/1/2022).
Lebih lanjut Farid menjelaskan, pasca-penghapusan izin Hinder Ordinary (HO) melalui Permendagri Nomor 19 Tahun 2017 pemerintah mengeluarkan kebijakan bagi pelaku usaha melakukan pendaftaran usahanya melalui OSS (Online Single Submission). Kebijakan sistem OSS memberi kemudahan berusaha perorangan maupun badan usaha. Sistem OSS memungkinkan proses segala pengurusan perizinan dapat dilakukan secara daring melalui sistem OSS dengan bebas biaya.
“Namun, secara sosiologis adanya izin gangguan, masyarakat berhak mendapatkan akses partisipasi yang meliputi pengajuan pengaduan atas keberatan atau pelanggaran perizinan dan/atau kerugian akibat kegiatan dan/atau usaha. Ketiadaan izin gangguan semestinya dibarengi dengan adanya jaminan atas hak warga negara untuk mendapatkan hak-hak dasarnya,” tutur Farid.
Masalahnya, kata Farid, sistem OSS tidak dibarengi dengan pengawasan dari pemerintah atas pemenuhan komitmennya sebagai prasyarat utama dalam menjalankan operasi usahanya dengan baik. Pasca-berlakunya sistem OSS secara faktual banyak kawasan yang tidak diperuntukkan untuk usaha, kemudian pada kenyataannya dialihfungsikan sehingga banyak tempat hiburan yang berdiri/berimpitan di wilayah permukiman penduduk.
Menurut Farid, regulasi pembatasan jam operasional tempat hiburan sudah bersifat keniscayan, sebab selain pemenuhan komitmen pelaku usaha sangat minimal, disempurnakan pula dengan ketiadaan pengawasan atas objek hiburan dari pemerintah setempat.
“Celakanya lagi, pelaku usaha dan pemerintah setempat berdalih selama ini tidak ada regulasi yang mengatur pembatasan jam operasional objek tempat hiburan,” ungkap Farid.
Eksesnya menurut Farid adalah fungsi hunian mengalami degradasi-defisit tersebab suara berisik/kegaduhan suara yang bersumber dari tempat hibutan kafe, coffee shop, restoran. Dalam banyak kasus suasana disekitaran kafe persis seperti keriuhan atau kegaduhan suara pasar malam atau terminal.
“Ekses lain dari efek keramaian lalu lintas kendaraan adalah suara raungan knalpot bising (knalpot racing) dari geberan kendaraan, baik roda dua atau roda empat yang keluar-masuk ke kafe. Suara dari kafe telah berdampak buruk bagi gangguan pendengaran dan kualitas istirahat warga,” sebutnya.
Farid melihat, banyak tempat hiburan beroperasi secara penuh (full time 24 jam), tanpa jeda, tanpa menimbang sisi kemanusiaan lingkungan sosialnya, tak memperhatikan segi kepatutan dan kearifan bagi warga sekitarnya.
“Semuanya dibaikan! Ditambah pula banyak pengelola tempat hiburan melakukan kamuflase, tempat hiburan tersebut seolah sudah tutup, padahal masih beroperasi,” bebernya.
Banyak tempat hiburan yang beroperasional buka sebelum pukul 10.00 wib dan tutup melebihi pukul 24.00 wib, sehingga menimbulkan keresahan bagi warga sekitarnya. Dalam situasi tersebut, Farid menilai pemerintah dan DPRD seolah tidak hadir memberi solusi dan warga dibiarkan bergelut sendiri dengan masalahnya.
“Tetapi pajak dan retribusi tetap ditagih, padahal pemerintah dan DPRD abai terhadap persoalan warga dan konstituennya,” tutupnya. (*)