TAJDID.ID~Jakarta || Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra mengapresiasi pencabutan Pasal 27 dan 28 UU ITE tentang pencemaran nama baik dan penghinaan dalam UU ITE. Menurutnya pencabutan itu adalah hal positif dalam rangka mendukung kehidupan demokrasi dan kebebasan ekspresi masyarakat.
“Pencabutan Pasal 27 dan 28 UU ITE tentang pencemaran nama baik dan penghinaan dalam UU ITE adalah hal positif dalam kebebasan ekspresi masyarakat, meskipun dalam RUU KUHP masih ada juga bagian bab yang mengatur tindak pidana terhadap informatika dan elektronik sebagaimana Pasal 332 sampai Pasal 335 hanya mengatur tindakan pidana dalam mengakses komputer atau merusak sistem elektronik orang lain, yang mana ketentuan pidana UU ITE ini tidak lagi mengatur kategori penghinaan atau pencemaran nama baik,” ” ujar Azmi melalui keterangan tertulisnya yang diterima redaksi tajdid.id, Selasa (29/11).
Meskipun demikian, lanjut Azmi, karena regulasi KUHP karakteristik dan sifatnya yang memerlukan keseimbangan kewajiban, hak dan tanggung jawab tiap warga negara dengan negara sehingga terkait pencemaran nama baik dan fitnah ini perlu penyesuaian keadaan dalam upaya mendukung demokrasi , hak ekspresi masyarakat dan pemanfaatan kemajuan tehnologi yang cerdas.
“Jadi Pasal 27 dan Pasal 28 ITE dicabut sepanjang terkait pencemaran nama baik dan fitnah karena sudah diatur dan telah dilakukan peyesuaian norma termasuk diatur pula syarat pembuktian kebenarannya terkait kategori perbuatan yang dapat dinyatakan sebagai penghinaan atau menyerang nama baik,” jelas alumni Fakultas Hukum UMSU ini.
Diketahui, naskah RKUHP edisi November 2022 , ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam ITE ini dialihkan pada bab XVII tentang pencemaran nama baik dan fitnah( Pasal 433 sd 437 RKUHP) , namun dalam naskah RKUHP ini dibuat ketentuan dan syarat dimana disebutkan bukanlah sebagai pencemaran nama baik jika itu untuk kepentingan umum dan terpaksa membela diri dengan mekanisme pembuktian kebenarannya ini akan diuji oleh hakim. (Pasal 437 ayat 3 dan Pasal 438 RKUHP).
“Jadi jelas, mengacu pada ketentuan dan persyaratan ini, jika sesuatu informasi yang disampaikan tersebut berisi kebenaran dan demi kepentingan umum serta dalam upaya membela diri maka sifat melawan hukumnya menjadi hilang atau ditiadakan, karena dikategorikan sebagai alasan pemaaf sehingga perbuatan pelaku bukanlah termasuk kategori pencemaran nama baik atau fitnah,” kata Azmi.
“Dan karenanya pada pelaku tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, syarat dan keadaan ini adalah suatu indikator dan mekanisme yang sangat tepat guna mendukung penegakan keadilan, pengembangan demokrasi dan hak ekspresi masyarakat termasuk mewujudkan cita hukum pidana nasional,” imbuh Azmi Syahputra.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) akan menghapus pasal pencemaran nama baik dan penghinaan yang selama ini tercantum dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“KUHP ini menghapus pasal-pasal pencemaran nama baik dan penghinaan yang ada dalam UU ITE,” katanya usai menghadiri Rapat RKUHP dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (28/11).
Dia mengungkapkan, penghapusan pasal itu menjadi kabar baik bagi iklim demokrasi dan kebebasan berekspresi.
“Karena teman-teman, terutama media selalu mengkritik aparat penegak hukum menggunakan UU ITE untuk melakukan penangkapan dan penahanan,” ujarnya seperti dilansir dari Antara.
Edward menyampaikan agar tidak terjadi disparitas maka ketentuan di dalam UU ITE dimasukkan ke dalam RKUHP dengan penyesuaian-penyesuaian.
“Dengan sendirinya mencabut ketentuan pidana khususnya Pasal 27 dan 28 di UU ITE,” tutupnya. (*)