Di luar banyak lembaga yang dengan kesewenang-wenangan berbalut akademik terutama survei yang terus-menerus menghakimi umat Islam dengan tuduhan-tuduhan peyoratif dengan menggunakan indikator yang melekat pada jati diri umat Islam, tanpa berusaha mendalami akar masalah. Misalnya, dengan senang gembiralah mereka menyatakan kampus ini intoleran, kampus itu suka khilafah, kampus yang sana radikal.
Mereka juga tak merasa sungkan membuat ranking kota Islami di Indonesia dengan cara pandang yang bermasalah. Rasanya, rangking kota hasil survei-survei seperti itu benar saja, tetapi cuma kebenarannya hanya ada di hilir belaka, persis seperti lembaga survei yang mengatakan partai berbasis agama tak laku lagi, padahal pemilu hanya pernah melahirkan data klaim politik, bukan data politik yang benar (kecuali mungkin pemilu tahun 1955 dan pemilu 1999), karena sama sekali tak pernah dilaksanakan jujur, adil, apalagi berintegritas.
Lembaga survei pun dianggap memiliki otoritas untuk mengatakan bahwa politik identitas itu berbahaya, hanya karena partai milik orang Kristen dan Katholik telah bubar. Sebelum partai-partai milik kedua komunitas agama itu lenyap, tidak ada isyu politik identitas. Jika orang menelaah sejarah partai, malah komunitas kedua agama itu yang paling awal mendirikan partai politik.
Ironisnya banyak akademisi dari kampus Islam tak terkecuali dari Muhammadiyah yang tanpa kritisisme yang benar mengamini saja, dan pada posisi itu mereka sudah memasuki wilayah keislaman baru mereka yakni self hating muslim (orang Islam yang memusuhi diri sendiri karena menjadi muslim).
Mestinya mereka harus memeriksa cermat ke hulu persoalan untuk mencari tahu apa sebab negara dengan kota tak Islami itu benar-benar miskin dan rakyatnya dianggap harus cukup puas dengan menonton kekayaan beredar dari satu ke tangan orang-orang yang amat sangat terbatas. Kemiskinan mereka yang parah amat tak memungkinkan mereka mengenal nilai kebersihan meski sholat mereka mewajibkan bersuci dan wudhu terlebuh dahulu.
Lembaga-lembaga musuh Islam yang beroleh kemudahan mendapatkan anggaran itu tak bersedia belajar substansi masalah, struktur yang menindas dan sejarah.