Ketiga, terkait pengabdian masyarakat, Idham Holik berharap mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi tidak hanya terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, tapi juga secara politic electoral juga lulusan-lusan terbaik universitas bisa menjadi kandidat di pemilu.
“Kenapa? Karena pemilu harus diisi oleh civil society. Kita ketahui dalam politic electoral atau bisa dilihat dalam perspektif marketing-politic sering kali para kandidat mengedepankan pendekatan machiavellianisme yang menjustifikasi cara atas dasar supplay and demand, sehingga politik uang itu dipandang seakan sesuatu yang permisif, bahkan menjadi sebuah tuntutan. Tentunya ini sesuatu yang salah kaprah,” kata Idham Holik.
Namun kalau kader-kader terbaik dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah menjadi kandidat, Idham Holik optimis itu akan bisa menghadirkan lanskap atau budaya politik elektoral baru.
“Karena ciri dari Muhammadiyah sebagai sebuah persyarikatan adalah mengutamakan etika atau akhlak. Demokrasi kita membutuhkan akhlak. Tanpa akhlak demokrasi akan membawa masalah dan kemudharatan,” tegasnya.
Sekali lagi Iham Holik menekankan, bahwa etika atau akhlak adalah sesuatu yang sangat penting. Karena menurutnya banyak studi yang mengungkapkan, bahwa akibat moral hazard, pemerintahan hasil demokrasi menjadi kacau, karena korupsi itu diawali dari moral hazard.
“Dan sekiranya para kandididat memiliki etika politik yang matang akan mampu merubah lanskap demokrasi, dan kita bisa buktikan yang namanya politik uang (politic buying) atau kecurangan pemilu (electoral bribery) bisa kita tekan,” katanya.
“Mudah mudahan kedepan demokrasi elektoral di Sumatera Utara bisa menjadi role model bagi demokrasi di provinsi lainnya,” tutupnya. (*)