Ia juga mengakui banyaknya kritik dari dunia Barat terhadap praktik demokrasi di Indonesia. Diantara contohnya, pada tahun 2018 terbit sebuah buku yang berjudul ‘Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia’ karya Edward Aspinall. Kemudian pada tahun 2019 ilmuan politik Burhanuddin Muhtadi menulis sebuah disertasi yang kemudian diterbitkan mejadi sebuah buku dengan judul “Buying Votes in Indonesia: Partisans, Personal Networks, and Winning Margins”. Disertasi tersebut kemudian diterbitkan oleh Palgrave McMillan pada Mei 2019 dalam buku berjudul “Vote Buying in Indonesia: The Mechanics of Electoral Bribery”.
Menurut Idham Holik, kedua buku ini merupakan kritik yang sangat keras dan apa yang disampaikan di dalamnya, salahsatunya tentang politik uang, bisa mengancam kehidupan demokrasi Indonesia di masa depan.
“Kendati sekarang banyak yang menganggap politik uang sebagai hal yang biasa, bahkan ada yang menyebutnya sudah menjadi sebuah kultur, sebagai orang yang pernah dididik di perguruan tinggi saya tertarik dan tertantang untuk menjawab problematika ini. Menurut saya kuncinya adalah pendidikan,” kata Idham Holik.
Terkait dengan hal ini, Idham Holik kemudian menuturkan, bahwa dalam buku “On Ideology”, Louis Althusser mengatakan institusi pendidikan merupan lembaga ideologi negara, dimana di dalamnya diinternalisasi nilai-nilai ideologi negara.
“Jadi peran perguruan tinggi dalam konteks pendidikan sangat vital sekali. Karenanya saya berharap ke depan Kementerian Pendidikan dapat lebih men-drive agar lembaga-lembaga pendidikan dapat berkontribusi besar dalam perubahan atau transformasi budaya elektoral di Indonesia,” harapnya.
Dan berbicara tentang pendidikan dalam pemilu, kata Idham Holik, tentunya membutuhkan komitmen bersama, karena menurutnya seringkali pendidikan dalam pemilu dimaknai hanya selama tahapan berlangsung.
“Karena itu saya mengapresiasi kebijakan KPU RI periode sebelumnya yang merancang sebuah program yang bernama Pendidikan Pemilih yang berkelanjutan. Jadi pendidikan pemilih itu idealnya memang harus berlangsung secara berkesinambungan, simultan dan harus bergandengtangan dengan institusi-institusi lain. Apalagi sekarang di era digital sering disebut dengan era kolaborasi, dimana KPU tidak bisa bergerak sendiri, tapi harus berkolaborasi dengan institusi lainnya,” jelasnya.
“Jadi perlu saya tekankan, bahwa pendidikan menjadi indikator peradaban demokrasi kita,” tambahnya.
Dalam konteks civil society, lanjut Idham Holik, volentirisme biasanya menjadi indikator komitmen dari masyarakat sipil itu sendiri. Dan dalam demokrasi juga menuntut volentirisme.
“Saya berharap kepada rekan-rekan mahasiswa yang saat ini sedang tumbuh kembang di dalam dunia intelektual dapat terlibat aktif dalam penyelenggaraan pemilu dan tidak lagi berdiam diri di kampus, tidak hidonis dengan kajian-kajian diskursusnya yang sangat abstrak, tapi dapat memberikan kontribusi nyata mulai dari terlibat dalam penyelenggara pemilu, badan ad hoc atau lainnya. Kalau dahulu ada istilah menara gading, harapan saya istilah itu tak lagi berkembang dalam diskursus publik kita.
Terkait partisipasi ini, Idham Holik menjelaskan agar pendidikan pemilih tidak hanya dimaknai dalam konteks formal bertemu dengan pemilih secara tatap muka.
“Sekarang era digital, kita bisa melakukan pendidikan politik dimanapun dan kapanpun. Saya berharap media-media sosial kita atau ruang-ruang digital kita dapat diisi dengan enlightenment sharing atau berbagi pencerahan, karena masyarakat umum (general voter) itu menanti para kaum intelektual muda atau mahasiswa dalam mengedukasi atau berkontribusi masyarakat pemilih dengan berbagi pandangannnya,”
Bersambung ke hal 5